Nikmatnya Puasa pada Musim Gugur

Red: Chairul Akhmad

Senin 07 Jul 2014 19:30 WIB

Asia University, Tokyo, Jepang. Foto: Wikipedia.org Asia University, Tokyo, Jepang.

Oleh: Wulan Tunjung Palupi

Ramadhan tahun ini agak anomali karena jatuh pada Juni, udara lebih bersahabat. Saya jadi ingat pernah puasa dalam cuaca yang ramah.

Ramadhan pada 1424 Hijriah yang jatuh pada musim gugur. Ketika itu, saya menjadi mahasiswa di Asia University, Tokyo, Jepang.

Pengalaman pertama berpuasa di negeri orang membuat khawatir tak bisa beribadah dengan baik. Saya hanya kenal seorang Muslim lain di kampus sedangkan di jurusan, saya satu-satunya Muslim.

Saat itu, saya tinggal di asrama khusus perempuan yang mempunyai peraturan ketat. Memasak dibatasi sampai pukul 23.00 dan dapur digunakan lagi pukul 05.30.  

Maka, sebelum Ramadhan, saya minta dispensasi menggunakan dapur sebelum pukul lima. Meskipun, akhirnya saya bertahan beberapa hari memasak sahur, selebihnya memanaskan makanan menggunakan microwave yang dilakukan 24 jam.

Bahkan, pada beberapa hari terakhir, saya sahur dengan nasi kepal dibungkus nori (rumput laut) dan sejumput ikan tuna tanpa dipanaskan.

Saat itu, Ramadhan jatuh pada 26 Oktober hingga 24 November, bertepatan dengan pertengahan hingga akhir musim gugur. Saya menyelesaikan sahur pukul 05.00 dan tak lama kemudian masuk waktu Subuh. Pada musim gugur di Jepang, waktu puasa pendek dari di Indonesia. Imsak pukul lima dan sebelum pukul tujuh malam, masuk waktu Maghrib.

Cuaca berkisar antara 14-17 derajat Celsius membuat Ramadhan tak terasa terlampau berat. Bahkan, satu kali di perpustakaan saya tak menyadari sudah masuk berbuka hingga pukul 19.30.

Berbuka puasa tanpa mendengar azan memang kurang afdal. Terlebih, makan sahur dan berbuka sendirian membuat saya kangen Tanah Air. Puncaknya saat malam takbiran, saya nekat bertakbir sendiri diiringi suara takbir dari laptop.

Untungnya, selama Ramadhan, teman-teman asrama dan kuliah memberi dukungan. Saya beberapa kali berbuka puasa bersama warga dan mahasiswa Indonesia dengan menu lengkap makanan Tanah Air.

Di asrama, ada teman penasaran tentang puasa yang dalam bahasa Jepang disebut danjiki. Teman tersebut mencoba puasa meskipun ia ‘sahur’ pukul 06.00. Masih penasaran, ia memaksa ikut saat saya shalat Id dan merayakan Lebaran di Wisma Indonesia di Meguro.

Karena Hari Raya Idul Fitri bukan hari libur, saya minta izin kampus tak masuk kuliah hari itu. Jadilah, saya dan teman yang ikut mencoba puasa itu shalat Id di Sekolah Republik Indonesia Tokyo dan silaturahim di Wisma Indonesia.

Kehangatan warga Indonesia dan meriahnya kuliner Lebaran membuat bertekad mengunjungi Indonesia. Saya pun lega karena ibadah puasa pertama di negeri orang berlangsung lancar dan rasa homesick terobati dengan opor, rendang, dan lontong yang tersaji di Wisma Indonesia.    

Terpopuler