Mengemban Misi ke Luar Negeri (1)

Rep: c78 / Red: Chairul Akhmad

Kamis 03 Jul 2014 11:30 WIB

Dakwah di luar negeri hendaknya disampaikan dengan cara moderat. Foto: Republika/Tahta Aidilla Dakwah di luar negeri hendaknya disampaikan dengan cara moderat.

REPUBLIKA.CO.ID, Para dai mencatat kondisi tempat dakwahnya sebagai bahan berbagi atau mencari solusi.

Abdul Halim terbang ke Makau. Ia ditemani istrinya. Suami-istri ini bukan hendak melancong, melainkan berdakwah. Bagi Halim ini merupakan pengalaman pertamanya. Bekal yang ia bawa tak sekadar ilmu agama, tetapi juga informasi pekerja Indonesia di sana.

Pada Senin (30/6) malam, ia mengatakan sudah dua hari berada di daerah administratif khusus di Cina itu. Rata-rata, katanya, kebanyakan pekerja migran merupakan perempuan. “Sambutan mereka sangat bersahabat,” ujarnya.

Ia mengaku belum berinteraksi dengan masyarakat setempat sebab baru dua hari tiba. Namun, berdasarkan cerita para pekerja migran, majikan mereka cukup baik dan manusiawi. Selanjutnya, ia banyak berkonsultasi dan mencari informasi mengenai kondisi pekerja.

Tujuannya, menyesuaikan materi dakwah yang akan disampaikan kepada mereka. Sambil mengkaji situasi, ia mengajarkan fikih perempuan selepas Tarawih. “Dalam hal ini, istri saya sangat banyak membantu,” katanya. Materi akhlak dan tauhid juga diajarkan.

Ia bertekad sebisa mungkin mengajak mereka menjaga keyakinan Islamnya di tengah kesibukan bekerja dan berbaur dengan non-Muslim. Caranya, dengan merangkul bukan memukul dan mengajak bukan mengejek.

Intinya, kata alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir itu, dakwah disampaikan dengan cara moderat sehingga bisa menyentuh hati mereka. Pengalaman pertama mengemban misi khusus mengajarkan ilmu agama ke negeri orang juga dihadapi Cucu Surahman.

Ia kebagian tugas ke Belanda. Ia pernah ke negeri ini namun dengan tujuan berbeda, menyelesaikan studi S-2 di Universitas Leiden. Saat itu, ia memang sempat mengisi pengajian, khotbah Jumat, dan acara lainnya. Paling tidak ia telah mengetahui medan dakwahnyya.

Karena itu, lelaki kelahiran 13 Januari 1981 tersebut mengaku belum menemui kendala berarti dalam penyesuaian lingkungan. Di sisi lain, ia merasakan keharuan melihat warga Indonesia di Belanda mengisi bulan Ramadhan.

Menurutnya, walaupun mereka berpuasa 18 jam lamanya, dalam kondisi sangat lelah mereka tetap bersemangat datang ke mesjid yang jaraknya jauh dari rumah masing-masing. “Mereka membawa makanan dan minuman. Tampak gembira.”

Terpopuler