Rawayan Keterbukaan Puasa (2)

Red: Chairul Akhmad

Senin 30 Jun 2014 14:56 WIB

Puasa hendaknya dijadikan pelecut semangat dalam kerja maupun ibadah. Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang Puasa hendaknya dijadikan pelecut semangat dalam kerja maupun ibadah.

Oleh: Asep Salahudin*

Dan, sesungguhnya kita sebagai bangsa sudah memiliki akar tradisi yang sangat kuat tentang sikap dan mentalitas positif ini.

Bagaimana tidak, sepanjang garis khatulistiwa, sejauh mata memandang antara Sabang sampai Merauke dengan ribuan pulau, warna kulit yang tidak sama, bahasa yang berbeda, agama berlainan, belum lagi kepercayaan lokal yang bertebaran, ternyata sampai hari ini kita masih dapat dipersatukan oleh sebuah “imajinasi nasionalisme” yang bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan Muhammad Yamin dan kawan-kawan sungguh sangat visioner. Yang diikrarkan bukan agama satu, kepercayaan tunggal, dan sikap monolitik eksklusif lainnya, tapi berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertumpah darah satu: Indonesia.

Fenomena tragis

Tragisnya hari ini, nalar kita ternyata tidak lebih cerdas dari generasi Muhammad Yamin. Tidak sedikit orang dan ormas yang justru mengembangbiakkan pola pikir yang berbanding terbalik.

Keragaman disikapi sebagai ancaman. Syahwat untuk mendesakkan suatu paham telah menyandera menjadi kerumunan manusia yang kehilangan akal sehat. Tidak hanya rumah yang dihancurkan, tapi juga “Rumah Tuhan” yang dibakar.

Bukan hanya ajaran yang dinistakan, tapi juga tubuh dianggap sebagai sesuatu yang tak berfaedah manakala tidak sama dengan suatu penafsiran.

Kita tiba-tiba menjadi lebih bersemangat untuk membangun garis lurus dikotomis “aku” dan “kamu” menjadi “mereka”, bukan lingkaran “aku” dan “kamu” mencair menjadi “kita” sebagaimana yang dikembangkan filsuf Martin Buber.

Kita yang dijangkarkan di atas haluan Toi Absolu: Tuhan sebagai dasar metafisis dari seluruh relasi kemanusiaan yang kita kembangkan.

*Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya

Terpopuler