REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Masdiana Safitri menegaskan prosesi dugderan yang menjadi tradisi masyarakat Semarang bukanlah pertanda awal Ramadhan.
"Perlu diketahui masyarakat bahwa pembacaan sukuf halaqoh, penabuhan bedug, dan suara meriam yang menjadi prosesi dugderan bukan pertanda dimulainya puasa pada hari berikutnya," katanya di Semarang, Jumat kemarin.
Menurut dia, rangkaian prosesi itu hanya sebagai sarana melestarikan budaya warisan leluhur, khususnya warga Kota Semarang, yakni dugderan yang digelar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Ketua Panitia Dugderan Semarang 2014 Mochammad Agus Nurachman membenarkan prosesi dugderan bukan merupakan pertanda dimulainya puasa pada hari berikutnya, namun hanya sebagai ungkapan rasa syukur.
"Dugderan ini bukan sebagai penanda dimulainya puasa pada hari berikutnya, namun untuk 'mangayubagyo', yakni ungkapan syukur atau bahagia masyarakat atas datangnya bulan suci Ramadhan," katanya.
Dugderan, kata salah satu takmir Masjid Kauman Semarang itu merupakan tradisi tahunan yang harus terus dilestarikan oleh masyarakat Kota Semarang sebagai ungkapan bahagia menyambut datangnya Ramadhan.
"Kebetulan, untuk tahun ini prosesi dugderan digelar pada malam hari, sementara tahun-tahun sebelumnya biasanya sore hari. Kalau dilihat dari sejarahnya, dugderan dulu memang selalu malam hari," kata Agus.
Sementara itu, Sekretaris Takmir Masjid Kauman Semarang Muhaimin menjelaskan dugderan merupakan ekspresi gembira akan datangnya bulan puasa, sementara penentuan awal puasa mengikuti keputusan pemerintah.
Dari sejarahnya, kata dia, zaman dulu di sekitar Masjid Kauman Semarang memang digunakan untuk rukyatul hilal penentuan awal puasa yang dilakukan para ulama dan utusan-utusan yang diutus melihat hilal.
Para utusan yang ditugaskan melihat hilal dari mercusuar akan berkumpul di Masjid Kauman Semarang dan menggelar halaqoh bersama para ulama untuk menentukan ketepatan dan kebenaran hilal tersebut.
"Setelah itu, keputusan ulama akan disampaikan kepada bupati yang kemudian mengumumkan awal puasa. Jadi, kalau melihat sejarahnya dulu (dugderan, red.) memang dilakukan pada malam hari," katanya.