REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masing-masing ormas Islam membuka peluang untuk menyeragamkan metode penetapan awal ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijah dengan diawali dialog dan diakusi. Salah satunya disuarakan Ketua Umum Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghazalie Masroeri.
Dalam sarasehan pra sidang isbat, ia mengajak Sarasehan seluruh ormas mencari titik temu mengingat telah 51 tahun terjadi perbedaan pendapat. "Sampai saat ini belum sama," kata dia pada Jumat malam (27/6).
Dijelaskannya, sejak tahun 26 berdirinya NU, secara kontinyu ormas Islam tersebut memproduksi generasi hisab baru. Hisab telah digunakan oleh NU sejak dulu bahkan telah melakukan pengembangan dengan metode hisab kontemporer.
"Namun yang mesti dicatat, hisab itu sebagai prediksi dan harus diuji dengan rukyat, apalagi untuk penetapan awal Ramadhan," katanya. Sebab Rukyat, lanjut dia, merupakan sistem ilmiah karena lahirnya rukyat adalah penegasan dari prediksi hisab. Nu pun menyatakan sepakat ketetapan satu Ramadhan pada Ahad (29/6).
Sementara itu, Ketua MUI yang juga merupakan pengurus PP Muhammadiyah Din Samsudin tidak menutup peluang adanya kesamaan penetapan awal ramadhan tahun depan. Sebelumnya diberitakan, Muhammadiyah akan melaksanakan puasa ramadhan pada Sabtu (28/6).
"Insya Allah, yang jelas kita Lebarannya bareng," katanya singkat seusai acara konpers penetapan awal ramadhan.
Perbedaan awal ramadhan kerap terjadi karena tidak adanya kalender unifikatif dalam peradaban islam. Yang ada adalah kalender lokal yang satu sama lain berbeda bahkan untuk tanggal tertentu tidak mengikuti jadwal kalender tersebut melainkan cara lain yakni rukyat.