Oleh: Nashih Nashrullah
Letak perbedaan bukanlah pada be rapa kriteria derajat hilal, melainkan pada penggunaan metode hisab sebagai tum puan utama istbat.
Bolehkah hanya merujuk hisab dalam penetapan atau harus tetap melalui rukyat? Misalnya, pada pertemuan Komite Fikih Islam yang digelar di Amman 1406 H atau sekitar 1990-an, diputuskan bahwa tidak boleh hanya mengacu hisab.
Namun, apa kata Syekh Musthafa Az Zurqa, salah seorang pakar fikih terkemuka? Ia meminta Dewan Pimpinan Komite untuk mencatat bahwa dia adalah orang satu-satunya yang menentang ketetapan ini sekalipun ia tetap menghormati kesimpulan yang disepakati mayoritas. Syekh az-Zurqa tidak sendirian. Ada juga Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Fathi ad-Darini.
Sebelumnya, pakar hadis Mesir tersohor, Syekh Ahmad Syakir, pada 1939 menulis kitab tentang legalitas dan argumentasi hisab dalam kitab bertajuk Awail As Syuhur Al Arabiyya Hal Yajuzu Itsba tuha Bil Hisab al Falaki?
Upayanya itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, pada tahun yang sama tengah terjadi polemik perbedaan Idul Adha. Mesir menetapkan Lebaran Haji itu jatuh pada Senin, Arab Saudi pada Selasa, dan di Bombai, India, pada Rabu.
Masing-masing kuat dengan argumentasinya. Dan, ini adalah bentuk dan ikhtiar berijtihad. Apakah selamanya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah masyarakat Tanah Air akan disuguhi de ngan perbedaan? Semua pihak meng ingin kan kebersamaan. Saya yakin akan hal itu. Apalagi, ada otoritas pemerintah di sana.
Dalam pandangan Wakil Mufti Dar Al Ifta Mesir, Muhammad Anwar Syalabi, bila muncul perbedaan di satu negara, hendaknya dikembalikan kepada peme rintah atau lembaga yang tertunjuk. Ia pun mengutip kaidah fikih yang menyatakan, “Ketetapan hakim (pemerintah) menghilangkan perbedaan”.
Namun, tampaknya mewujudkan persatuan itu butuh proses, keseriusan, dan komitmen dari semua pihak. Karena itu, perlu upaya intensif untuk menyatukan persepsi tentang sistem penanggalan—untuk kebutuhan sekarang minimal—di tingkat nasional.
Pembahasan tidak berkutat pada kriteria dan derajat hilal, tetapi bagaimana menyatukan persepsi terkait metode itsbat dan keinginan untuk bersatu.
Menurut Guru Besar UIN Sunan Kali jaga Yogyakarta Prof Susiknan Azhari, dalam kasus penetapan awal bulan Hijriah tampaknya masih perlu dialog yang intensif-substantif. Ia menyebut, pertemuan selama ini masih berada pada tataran normatif dan terkungkung pada pola pikir dikotomis-ideologis.
Ada atau tidak ada kesepakatan nantinya, penting menerapkan etika dan fikih berbeda pendapat. Yaitu, bersikap dan berjiwa besar menyikapi entitas lain yang tak sama, bukan malah saling tebar isu, menyeruakkan fitnah, dan saling mengklaim kebenaran, atau sampai membentur- benturkan antarkelompok ormas.
Awal puasa atau Lebaran boleh saja berbeda selama dalam konteks ijtihad argumentatif, tetapi ada satu hal yang sama dan tak boleh sirna, yaitu fakta: kita masih saudara kan, Pak Bro?