Awal Ramadhan Berbeda, Ini Penjelasan Pakar Astronomi ITB

Rep: C57/ Red: M Akbar

Rabu 25 Jun 2014 16:12 WIB

Astronomi Foto: Republika/Aditya Pradana Putra Astronomi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pakar Astronomi Boscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Muji Raharto, memprediksi awal Ramadhan kemungkinan besar akan berbeda di Indonesia. Pasalnya, ketinggian hilal belum mencapai dua derajat atau ketinggian minimal untuk dapat dilihat dengan mata telanjang berdasarkan metode "Wujudul Hilal".

"Apakah cuaca mendung atau cerah di akhir 29 Sya'ban atau Jumat (27/6) nanti tidak akan berpengaruh terhadap terlihatnya hilal atau tidak," ujar Muji saat dihubungi Republika, Rabu (25/6) sore.

Di seluruh wilayah Indonesia, ketinggian hilal masih di bawah dua derajat. Meskipun bulan sudah dianggap memenuhi ijtima' dan konjungsi, namun ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi, yakni "Wujudul Hilal".

Namun bagi Muhammadiyah yang menggunakan metode "Hisab", berapa pun ketinggian derajatnya, selama hilal sudah di atas ufuk atau memenuhi konjungsi dan ijtima' maka 1 Ramadhan telah tiba.

Jadi, ungkap Muji, dengan menggunakan metode "Wujudul Hilal, maka 1 Ramadhan akan bertepatan dengan Ahad (29/6). Sedangkan dengan metode Hisab maka 1 Ramadhan akan bertepatan dengan Sabtu (25/6).

Adapun metode baru "Ruqyat Qobla Ghurub" yang melihat hilal di siang hari, itu masih mengundang banyak perdebatan di kalangan para ahli falaq dan astronomi.

Pasalnya, papar Muji, metode itu menggunakan alat untuk melihat hilal di siang hari. Selama ini, Rukyat itu dilakukan "ba'da ghurub" atau setelah matahari terbenam.

Terpopuler