Mengomunikasikan Perbedaan (2-habis)

Red: Chairul Akhmad

Selasa 24 Jun 2014 19:46 WIB

Pemantauan hilal awal Ramadhan. Foto: Republika/Agung Supri Pemantauan hilal awal Ramadhan.

Oleh: Roni Tabroni*

Membangun harmonisasi dilakukan dengan saling menghormati dengan tanpa saling menyalahkan satu sama lain.

Sedangkan, proses pendidikan dilakukan dengan cara mengomunikasikan apa yang diyakininya kepada umat secara terbuka dengan argumen dan metode bagaimana keyakinannya itu dibangun.

Pemerintah tidak lagi menggunakan pola komunikasi yang sifatnya linier, tetapi membuka ruang dialog yang mengayomi semua pihak tanpa menjustifikasi pihak-pihak tertentu.

Pola komunikasi yang sifatnya sirkuler dilakukan dengan memosisikan diri (pemerintah) secara sejajar dengan masyara kat. Itu diharapkan dapat memberikan rasa aman kepada semua pihak yang memiliki hak yang sama untuk dilindungi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain pentingnya membangun keseimbangan (konsistensi) antara apa yang disampaikan dan apa yang menjadi perilaku (kebijakan), yang tidak kalah pentingnya juga melakukan proses transparansi dalam konteks komunikasi. Transparansi komunikasi menjadi sangat penting karena dikhawatirkan ada curiga atau praduga yang tidak benar.

Kendati bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur termasuk penganut konteks tinggi di mana proses komunikasi senantiasa dilakukan dengan tidak secara lugas, bukan berarti komunikasi dilakukan dengan merugikan pihak lain.

Komunikasi yang bernuansa konteks tinggi pada dasarnya tidak menghilang kan makna komunikasi itu sendiri, yaitu mencari kesamaan makna untuk saling membangun pengertian. Bukan kemudian komunikasi konteks tinggi malah menimbulkan kecurigaan karena m nimbulkan persepsi tertentu di masyarakat.

Misalkan, ketika secara terang menjelang Idul Fitri ada dua kesaksian dari dua titik yang berbeda telah melihat hilal, tetapi pemerintah malah membatal kannya. Sangat wajar jika kemudian persepsi masyarakat menjadi beragam dan akhirnya menimbulkan apatisme publik terhadap proses sidang itsbat.

Bisa jadi, apa yang menjadi perdebatan dan pada tahap tertentu menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat, persoalannya bukan pada aspek keyakinan teologis atau metodis, melainkan pada aspek komunikasi yang kurang disadari sebagai salah satu instrumen dalam proses membangun keharmonisan di masyarakat itu.

Sebab semua paham, setidaknya dua keyakinan yang berbeda, misalnya, yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah sesungguhnya tidak resisten ketika keduanya saling membangun komunikasi yang harmonis.

Proses dialog akan gagal (setidaknya terganggu) jika di samping kiri-kanannya ada gangguan, atau hal teknis yang tidak berjalan baik. Namun dalam konteks komunikasi NU-Muhammadiyah ini, akan terganggu jika munculnya pihak ketiga, baik personal maupun lembaga, yang kemudian mengganggu proses hubungan yang harmonis itu.

Karenanya, kegagalan dalam komunikasi belum tentu yang salah itu pihak yang sedang berkomunikasi, tetapi bisa pula disebabkan adanya gangguan.

*Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Terpopuler