Puasa Tazkiyatun Nafs dan Jasad (5-habis)

Red: Chairul Akhmad

Selasa 24 Jun 2014 18:34 WIB

Puasa hendaknya dijadikan pelecut semangat dalam kerja maupun ibadah. Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang Puasa hendaknya dijadikan pelecut semangat dalam kerja maupun ibadah.

Oleh: Dr Syamsuddin Arif*

Empat belas tahun kemudian, setamatnya mereka dari sekolah menengah, anak-anak yang dulunya langsung makan kue tersebut ditemukan rendah prestasinya, labil emosinya, cenderung suka bertengkar, dan sulit mencapai target yang dikehendaki.

Sementara mereka yang sabar menunggu sampai Bu Guru datang dan karena itu mendapat imbalan dua potong kue, ditemukan lebih baik prestasinya, mempunyai emosi yang stabil, lebih berdikari, dan mampu mengendalikan diri dalam keadaan tertekan sekalipun.

Begitu pula orang seperti Imam as-Syafi‘i dan para ilmuwan hebat lainnya sukses dalam kariernya berkat banyak puasa.

Multidimensi puasa

Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, Imam al-Ghazali menguraikan beberapa dimensi puasa yang baik diketahui jika kita menghendaki hasil optimal sebagaimana tersebut di atas dan bukan sekadar hasil minimal, yaitu gugurnya kewajiban dan tetapnya identitas diri sebagai mukmin Muslim.

Menurutnya, ada tiga dimensi puasa. Pertama, dimensi esoteris di mana Anda menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual. Beliau menyebutnya shaum al-bathn wa al-farj. Dimensi ini penting karena menjadi syarat minimal puasa.

Kedua, dimensi semiesoteris di mana seseorang itu tidak hanya berpuasa perut dan kemaluannya, tetapi juga panca indra dan anggota badan lainnya. Yakni, apabila ia mengunci penglihatan, pendengaran, dan kaki tangannya dari segala yang haram dan syubhat.

Imam al-Ghazali mengistilahkannya shaum al-jawarih. Yang ketiga adalah dimensi esoteris di mana Anda berpuasa total, mencekik syahwat badaniah, dan syahwat batiniah sekaligus.

Namanya shaum al-qalb, yaitu apa bila hati dan akal pikiran pun berpuasa dari pelbagai keinginan, kerinduan, dan harapan kepada sesuatu dan sesiapa jua, melainkan Allah. Menurut Imam al-Ghazali, seyogianya puasa kita merangkum tiga dimensi tersebut. (Lihat: Ihya Ulumuddin, juz 3, hlm 428-430).

*Dosen Pascasarjana ISID Gontor Ponorogo

Terpopuler