REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Tradisi unik khas Ramadhan lain di Timur Tengah, yakni suara dentum meriam, tepat saat matahari terbenam di ufuk barat. Ini pertanda, waktu berbuka tiba.
Kebiasaan itu muncul tak sengaja. Pada 865 H, penguasa Dinasti Mamluk, Khasyqadam, menjajal meriam baru. Kebetulan, waktu itu bertepatan saat berbuka puasa. Suara dentum meriam terdengar keras seantero Kota Kairo. Penduduk pun terperangah.
Mereka tidak protes. Justru mengapresiasi. Dentuman meriam tersebut bisa menjadi ikon unik khas Ramadhan. Tak cuma isyarat berbuka, suara meriam pun dipakai untuk penanda saat sahur dan imsak.
Dari Mesir, fenomena ini menjalar ke wilayah sekitar. Antara lain, Suriah, Palestina, Irak, Kuwait, Yaman, Afrika, Sudan, Chad, Nigeria, dan Mali. Bahkan, pada 1944 Indonesia pernah mengikuti tradisi tersebut.
Generasi kita dan mayoritas orang tua pasti mempunyai kenangan manis akan kebiasan unik di masyarakat saat Ramadhan.
Tak hanya kuliner khas, tetapi ragam aktivitas, seperti “grebek” sahur dan tadarusan berjamaah di masjid. Ramadhan menyatukan berbagai entitas dalam satu rasa dan semangat.
Maka, inovasi penyambutan dan peramaian menyemarakkan Ramadhan di dunia Islam yang diwariskan para pendahulu. Produk tradisi itu menciptakan atmosfer kondusif sepanjang Ramadhan.
Ragam tradisi itu pula menjadi jawaban sederhana atas kegamangan orang tua kini akan pergeseran nilai di masyarakat.
Saat sinetron hedonis, game online, dan jejaring sosial, menjangkiti dari generasi muda, yang ada lahirlah generasi alay. Sehingga, Ramadhan tak lagi “seksi” di mata mereka.
Menghidupkan dan menjaga tradisi ternyata bukan sekadar penghormatan atas Ramadhan, melainkan melestarikan kearifan lokal dalam memahami dan memaknai hadis Rasullullah SAW, perihal pentingnya menghidupkan dan mengistimewakan bulan Alquran.