REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Fawanis, lampu hias ini ditemui saat Ramadhan di Timur Tengah, terutama Mesir. Di jalan protokol, permukiman, dan kawasan wisata, banyak yang menjajakannya. Lampu tersebut dipasang untuk menandakan Ramadhan.
Kata fawanis adalah bentuk jamak dari kata fanus. Kata yang berarti lampu ini berasal dari bahasa Yunani. Tradisi memasang lampu tersebut belum dikenal di Negara Piramida , hingga pada 358 Hijriyah warga Mesir menggunakan untuk penerang jalan.
Mereka menyambut kedatangan al-Muiz Lidinillah ke Mesir. Peristiwa tersebut bertepatan dengan Ramadhan. Sejak itulah, fawanis menjadi ikon Ramadhan di Mesir.
Beragam tradisi memeriahkan Ramadhan di dunia Islam. Sebagiannya atau nyaris keseluruhannya, memang belum dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi, tak jadi masalah. Ini tradisi dan budaya yang berasal dari kearifan lokal.
Unik, mengundang ketertarikan lintas generasi. Tiap daerah memiliki tradisi. Ikhtiar sederhana masyarakat lokal untuk memberi keistimewaan Ramadhan.
Fenomena unik Ramadhan di Timur Tengah yang hampir tergerus dinamika zaman yang merupakan pekerjaan sukarela, yaitu membangunkan sahur.
Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan al-mushirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel berbeda. Liriknya, berisikan ajakan dan seruan bangun sahur.
Gubernur Mesir Atabah bin Ishaq di era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut sebagai al-mushirati pertama. Ini karena pada 238 H ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur.
Ia melakukannya berjalan kaki. Tempat permulaannya di Kota Militer dan berakhir di Masjid Amar bin Ash di Kairo Lama, Fustat. Dan kini, profesi itu tak lagi menarik. Mulai tergeser dengan suara alarm atau pekikan keras dari pengeras suara di masjid.