Menikmati Bubur Pedas (2-habis)

Red: Chairul Akhmad

Kamis 19 Jun 2014 14:58 WIB

Bubur pedas. Foto: Republika/Agung Supri Bubur pedas.

Oleh: Israr Itah

Bubur pedas menjadi kuliner khas Ramadhan. Sejumlah masjid besar di Medan dan kota-kota kecil di Sumatra Utara, seperti Binjai, Tanjung Pura, Deli Serdang, dan Tanjung Balai, menyediakan bubur pedas sebagai santapan berbuka puasa.

Biasanya, bubur pedas disantap bersama taburan anyang makanan yang sepintas mirip dengan urap. Bedanya, bumbu kelapa untuk anyang lebih dahulu disangrai. Sayuran yang digunakan untuk membuat anyang juga tidak beragam, hanya daun pakis dan taoge.

Pada hari biasa, bubur pedas tersaji pada pesta pernikahan warga Melayu. Di luar itu, harus memasak sendiri atau memesan langsung dari pembuatnya.

Bagi dokter Maharani tak sulit mendapatkan bubur pedas beserta anyang. Sejumlah kerabatnya masih rajin membuat masakan ini selama Ramadhan. Salah satunya adalah tantenya, Nurhayati.

Biasanya, Maharani mendapatkan kiriman bubur pedas dari Nurhayati yang tinggal di Kota Binjai, sekitar 15 kilometer dari Medan. Terkadang, Maharani mencicipi bubur pedas ini saat bertandang ke rumah tantenya itu.

Olahan bubur pedas Nurhayati banyak digemari karena masih mempertahankan ramuan rempah dan dedaunan yang saat ini makin sulit dicari.

Ia mudah mendapatkannya karena sengaja menanam khusus untuk memasak bubur pedas itu. Ada 44 macam dedaunan yang dibutuhkan. Kalau tidak menanam sendiri, sulit mendapatkannya di pasar, kata Nurhayati.

Ia mewarisi resep bumbu pedas ini langsung dari neneknya yang bernama Safiah. Nurhayati mengisahkan, saat masih kecil, sang nenek setiap hari memasak bubur pedas. Selain untuk dimakan sendiri, masakan ini juga dibagikan kepada anak yatim piatu.

Jadi, karena dari kecil sering membantu andong (nenek), bumbu dan bahannya hafal. Setelah besar, bikin sendiri. Dulu nenek berbuka hanya memakan bubur pedas. Setelah shalat Tarawih, baru ia makan nasi, ujar Nurhayati mengisahkan.

Terpopuler