Susahnya Menyeberang Saat Musim Mudik

Rep: Mj05/ Red: A.Syalaby Ichsan

Selasa 13 Aug 2013 20:02 WIB

Petugas dari Dinas Perhubungan melakukan penghitungan jumlah kendaraan yang melintas di persimpangan Celeng, Loh Bener, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/8). Foto: Republaika/Wihdan Hidayat Petugas dari Dinas Perhubungan melakukan penghitungan jumlah kendaraan yang melintas di persimpangan Celeng, Loh Bener, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Siang itu (12/8) terik matahari menyinari para pengendara yang melewati Jalan Pantura, Larangan, Kabupaten Indramayu. Arus kendaraan saat itu sedang padat merayap karena masih dalam agenda arus balik lebaran 1434 H. 

Di bawah Jembatan Maja, Larangan, banyak motor mengantre untuk menyeberang jalan raya tersebut. Motor-motor tersebut memilih jalur alternatif untuk menyeberang jalan pantura. Menghindari kepadatan kendaraan saat arus mudik dan arus balik terjadi. 

Setiap tahun, Jalan Pantura di Indramayu dilintasi oleh pemudik. Baik kendaraan roda dua atau roda empat. Saat itu pula,masyarakat pribumi Indramayu kesusahan untuk melakukan penyeberangan di Jalan Pantura.

 “Masyarakat pribumi selalu menderita saat arus mudik terjadi,” ujar salah satu petugas pengamanan arus mudik yang namanya tidak mau disebut di Posko Mudik Lingkar Lohbener, Indramayu. 

Saat arus mudik terjadi, beberapa masyarakat di sekitar Jembatan Maja dan Wanasari berinisiatif membuka jalur penyeberangan alternatif.  “Inisiatif masyarakat sini untuk membantu yang mau menyeberang jalan,” ujar Waling, warga sekitar Jembatan Maja, Desa Larangan, Indramayu. 

Jalur penyeberangan tersebut berada di bawah kolong jembatan yang tingginya sekitar satu meter. Jalur alternatif tersebut dilintasi oleh petani, pedagang, dan pengendara lainnya yang berebut menyeberang untuk mencari keselamatan.

Tidak ada tarif khusus yang diberlakukan pada jalur penyeberangan alternatif itu. Namun, kata Walim, pengendara yang menyeberang memberikan sumbangan suka rela pada para penjaga jalur penyeberangan tersebut. 

“Ya bisa untuk beli minuman dan rokok,” katanya. Setiap hari selama arus lebaran, jalur penyebrangan tersebut dijaga oleh sekitar 15 – 20 orang.

Menurut petugas tersebut, di Indramayu seharusnya dibangun jembatan layang agar bisa meminimalisasi penderitaan masyarakat pribumi untuk menyebrang jalan. “Ini mah enggak ada jalan alternatif untuk menyelamatkan masyarakat,” katanya. 

Petugas tersebut juga mengeluhkan jika terjadi kecelakaan di jalur penyeberangan alternatif tersebut. “Kalau terjadi kecelakaan disitu,  kan jadi bingung ngukurnya,” katanya.Sampai saat ini, di Indramayu belum ada jembatan layang. Terutama di titik-titik kemacetan, khususnya sekitar pasar tumpah. 

Pihak kepolisian akan menutup akses putar balik di Jalan Pantura saat arus lebaran. Pengguna jalan yang kurang kesadarankeselamatan dan tidak sabar akan membuka penutup jalan tersebut. “Kalau ada jembatan layang kan, petugas mudik dan masyarakat tidak dirugikan, pemudik juga lancar,” katanya.

Selama belum ada jembatan layang, kondisi tersebut diperkirakan akan terus terjadi  tahun-tahun berikutnya. Terutama saat arus lebaran terjadi. Volume kendaraan meningkat tapi kondisi jalan masih seperti itu. “Semakin menghambat dan menyiksa masyarakat dan pemudik,” kata petugas tersebut.

Wacana kebutuhan Jalan Pantura Indramayu membutuhkan jembatan layang mendapat tanggapan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Indramayu. Woni Dwinanto, Kasubag Perencanaan Bappeda Indramayu mengatakan, sampai saat ini Pemerintah Daerah Indramayu belum memiliki rencana untuk membangun jembatan layang. 

“Karena itu kan jalan Negara, jadi kewenangannya ada di pusat, bukan di kabupaten,” kata Woni di Gedung Bappeda Indramayu, Selasa (13/8).

Namun, Woni mengatakan, masyarakat bisa mengusulkan jika memang jembatan layang tersebut sangat dibutuhkan. “Bisa diteruskan kalau ada usul dari masyarakat, nanti kan dimusyawarahin di Musrembang,” ujarnya.

Terpopuler