Indahnya Berlebaran di Kaki Gunung Jaya Wijaya

Rep: Hannan Putra/ Red: A.Syalaby Ichsan

Ahad 11 Aug 2013 15:51 WIB

Generasi muda Muslim Papua Foto: Courtesy of suaramuslimpapua.blogspot.com Generasi muda Muslim Papua

REPUBLIKA.CO.ID, WALESI -- Dinginnya suasana Pegunungan Jaya Wijaya ternyata tak mampu membekukan kehangatan suasana Muslim Walesi. Kamis (8/8) pagi itu, lantunan takbir menggema di seantero daratan tertinggi di Indonesia itu sejak malam.

Sedikitnya 100 Muslim setempat telah berkumpul dan menunaikan Shalat Idul Fitri di Masjid Al Aqsha. Satu-satunya masjid di Walesi yang terletak di Pondok Pesantren (Ponpes) Istiqamah Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Cabang Jayawijaya Kabupaten Wamena, Papua.

Cuaca pagi itu begitu dingin. Dari kaki gunung itu, tampak Lembah Baliem yang masih diselimuti kabut tebal. Jika cuaca cerah, sebenarnya pemandangan ibukota Wamena tampak jelas tempat mereka. Namun pagi itu, gemerlap satu buah lampu pun tak terlihat. Tebalnya kabut yang menyelimuti seakan masih enggan membangunkan warga Wamena.

Salah seorang petugas medis di RSUD Wamena, dr Mukri Nasution bersama tiga orang temannya sengaja ingin melewatkan Hari Raya Idul Fitri bersama di perkampungan Muslim yang terletak di kaki Gunung tertinggi di Indonesia itu.

“Kalau Umat Islam di Kota, biasanya shalat Ied di Masjid Baiturrahim di Wamena. Namun kita sengaja datang kesini tadi malam. Kita ingin berlebaran bersama masyarakat disini,” kisah Mukri kepada Republika.

Bagi Mukri dan teman-temannya, berhari raya di Walesi punya kesan tersendiri. Udara yang dingin, dan fasilitas seadanya membuat mereka menggigil sepanjang malam. Tidak ada tempat tidur yang empuk, hanya tikar yang sudah lusuh untuk beristirahat.

Selimut juga hanya seadanya. Akhirnya, Mukri dan teman-temannya yang kesulitan tidur karena dingin itu memilih untuk terus melantunkan takbir hingga sampai pukul 3.30 WIT. “Udaranya dingin sekali. Udara pegunungan begitu terasa menusuk sampai ke tulang,” jelas Mukri.

Takbir yang mereka lantunkan sepanjang melam membuat anak-anak pesantren ikut ‘melek’ bersama mereka. Anak-anak yang masih di tingkat sekolah dasar tersebut ikut menggelar acara bakar ikan dan meletuskan meriam yang mereka buat dari bambu.

“Sejak semalam sampai pagi, lantunan takbir anak-anak terus berkumandang di bebukitan ini. Suara anak-anak kecil ini begitu syahdu mengumandangkannya,” kenang Mukri.

“Selepas subuh berjamaah di Mesjid Al-Aqsa, kami dan anak-anak suku Dani sudah beres-beres di mesjid untuk menyiapkan tempat shalat ied,” sambungnya.

Umat Islam di pegungungan tersebut hanya berjumlah seratus orang. Kendati menjadi minoritas dan kehidupan yang serba sederhana ternyata tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bergembira di Hari Raya.

Pukul 7.30 WIT, Shalat Id mulai ditunaikan. Shalat diimami Ustadz Abu Hanifah, seorang anak kelapa Suku Dani. Ia juga yang kemudian menyampaikan Khutbah Idul Fitri. Dalam khutbahnya, Ustaz Abu Hanifah mengingatkan agar terus berpegang teguh pada Aqidah dan Syariat Islam.

Khutbah yang disampaikan dalam bahasa Suku Dani itu mengingatkan agar umat Islam setempat tidak perlu bersedih maupun berduka, jika mempunyai ketakwaan maka dialah yang paling mulia di sisi Allah SWT.

“Khutbah sengaja disampaikan dalam bahasa Suku Dani agar lebih dimengerti. Karena masih banyak warga yang belum paham betul bahasa Indonesia,” jelas Mukri.

Selepas Shalat Id, acara dilanjutkan dengan jamuan makan. Kemudian kegiatan kita tutup dengan salam-salaman dan makan bersama. 

Salah seorang tenaga pengajar di Ponpes Istiqamah Walesi, Muhammad Ilyas mengatakan baru di tahun ini Lebaran terasa semarak di Pegunungan Jaya Wijaya itu.

“Kalau tahun-tahun sebelumnya, umat Islam hanya datang untuk shalat ied, kemudian pulang. Tapi tahun ini, selepas shalat Ied ada acara makan-makan, ada bagi-bagi THR juga oleh teman-teman dari Wamena. Malamnya juga full takbiran semalam suntuk. Jadi terasa benar-benar seperti lebaran,” kisah pemuda yang berasal dari Madura itu.

 

Terpopuler