Perpaduan Tiga Budaya di Masjid Agung Jateng

Rep: Mg15/ Red: A.Syalaby Ichsan

Selasa 06 Aug 2013 23:31 WIB

Masjid Agung Jawa Tengah Foto: Republika/Mg15 Masjid Agung Jawa Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Jika anda mudik atau berkesempatan ke Kota Semarang, sempatkanlah datang ke Masjid Agung Jawa Tengah. Masjid ini terletak di jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jawa Tengah. 

Masjid ini dibangun pada hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang pertama oleh Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil Al Munawar, Ketua Umum MUI Pusat KH MA Sahal Mahfudh dan Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto  dan di resmikan tanggal 14 November pada tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Bangunan utama terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk para jamaah pria sedangkan lantai dua untuk jamaah perempuan. Kapasitas masjid ini bisa menampung sekitar 6000 orang jamaah. 

Di dalam bangunan induk dilengkapi dengan empat buah Minaret atau yang kita kenal dengan menara, masing-masing tingginya 62 meter. Salah satu Minaret dilengkapi dengan lift yaitu Minaret pada bagian depan kanan. Pada kubah utama berbentuk setengah lingkaran dari cor beton dengan garis tengah 20 meter. 

Gaya arsitektur Masjid Agung Jawa Tengah merupakan perpaduan antara Jawa, Timur Tengah (Arab Saudi) dan Yunani. Gaya Timur Tengah terlihat dari kubah dan empat minaretnya. Gaya Jawa terlihat dari bentuk tajugan di bawah kubah utama. Sedangkan gaya Yunani terlihat pada 25 pilar-pilar Kolasium dipandu dengan kaligrafi Arab yang sangat indah. 

Pada Plasa masjid terdapat gerbang yang dinamakan Gerbang Al Qanathir yang artinya Megah dan Bernilai. Tiang penyangga gerbang ini berjumlah 25 buah yang merupakan simbol dari 25 Rosul Allah sebagai pembimbing umat. Di gerbang ini bertuliskan kaligrafi Syahadat Tauhid “Ashyhadu Alla Illa Ha Illallah” dan Syahadat Rasul “Asyhadu anna Muhammadar Rosulullah”. 

Sedang pada bidang datar tertulis huruf pegon, huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa dan bahasa Sunda, yang berbunyi “Sucining Guna Gapuraning Gusti”. 

Plasa Masjid seluas 7500 meter persegi ini merupakan perluasan ruang sholat yang dapat menampung kurang lebih 10.000 jamaah. Menariknya, di plasa ini memiliki 6 payung raksasa yang bisa membuka dan menutup secara otomatis seperti yang ada di masjid Nabawi dan Madinah. 

Tinggi tiang-tiang elektrik masing-masing 20 meter sedangkan bentangan (jari-jari) masing-masing 14 meter. Payung elektrik dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan catatan kondisi angin tidak melebihi 200 knot.

“Payung ini juga bertujuan untuk mengobati rasa rindu masyarakat yang pernah berkunjung ke masjid Nabawi dan Madinah”, ujar Agus, Sekretaris Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah saat di temui RoL, Semarang, Selasa (6/8)

Perancangan masjid ini merupakan filosofi perwujudan dan kesinambungan historis perkembangan agama Islam di Tanah Air. Filosofi ini diterjemahkan dalam Candasengkala yang dirangkai dalam kalimat “Sucining Guna Gapuraning Gusti".

Artinya, tahun Jawa 1943 atau tahun Masehi 2001 adalah tahun dimulainya realisasi dari gagasan pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah. Candrasengkala menjadi jati diri dari Masjid Agung yang megah dan indah, buah karya perpaduan unsur budaya internasional maupun lokal dalam kebudayaan Islam. 

Terpopuler