REPUBLIKA.CO.ID, Hanan (42 tahun) bersama lima rekannya sudah sibuk di pagi buta. Matahari belum sempurna memancarkan panasnya. Saat cahayanya masih redup, Hanan dan kawan-kawan sudah siap-siap memulai perjalanan mudik menuju kampung halamannya, Indramayu.
Berbeda dengan pemudik umumnya, kawanan itu tidak menggunakan kereta api, bus, atau sepeda motor. Kendaraan mereka juga bukan roda empat maupun roda dua. Hanan memilih kendaraan roda berwarna oranye yang merupakan kendaraan umum khas Ibu Kota, bajaj.
Hanan dan kompatriotnya adalah para pengemudi bajaj yang biasa mangkal di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bajaj yang biasanya untuk mengantar penumpang kini terlihat penuh dengan barang bawaan. Mulai pemasak nasi, kasur, beberapa helai pakaian, sampai sepeda kecil sudah terikat kuat di bajaj Hanan.
Suara bising knalpot bajaj tak pelak menjadi perhatian warga saat rombongan mudik ini melintas di Jalan Sersan Aswan Kota Bekasi. Sepanjang perjalanan, Hanan tak putus bersenda gurau bersama dengan istri kesayangannya, Nar (45 tahun).
Awak media yang menemui mereka di Bekasi meramaikan suasana perjalanan iring-iringan rombongan bajaj. Razak (10 tahun), anak bungsu Hanan-Nar, tampak gembira dan melambai-lambaikan tangan ke arah wartawan yang berjalan beriringan dengan rombongan pemudik.
Memasuki Jalan Teuku Umar di perbatasan Kabupaten Bekasi, rombongan bajaj beristirahat sejenak. Enam rombongan pemudik bajaj itu memilih beristirahat tepat di seberang pertokoan Ramayana.
Hanan menceritakan, dia lebih memilih mudik menggunakan bajaj karena irit bensin. Untuk sekali perjalanan menuju Indramayu, Hanan cukup mengeluarkan uang Rp 100 ribu saja.
Bukan hanya irit, kendaraan roda tiga ini pun sangat efisien. Alasannya, bajaj bisa memuat banyak barang dan juga bisa menampung lima hingga enam orang penumpang.
Hanan sudah tiga tahun menjadi juru kemudi bajaj di Jakarta. Biasanya, dia beroperasi di daerah Thamrin City, Tanah Abang. Kepada wartawan, Hanan mengeluhkan tingginya harga kebutuhan pokok belakangan ini.
“Sejak BBM naik, harga melambung. Kalau mengandalkan dari narik bajaj saja tidak cukup. Untung ibu membuka usaha kopi di rumah,” ujar Hanan.
Wajah Hanan tiba-tiba mengerut sedih ketika ditanya mengenai rencana peremajaan armada bajaj di Ibu Kota. Menurutnya, selama mesin bajaj masih bisa nyala dan kondisinya terawat, rencana peremajaan itu tidak perlu dilakukan.
Rekan Hanan, Yasin, Caswin, Rasmin, Yanto, dan Ginan pun bergantian mengomentari rencana peremajaan bajaj yang pastinya langsung berimbas pada mata pencaharian mereka.
“Anak-istri kita mau hidup dari mana lagi kalau bajaj kita berhenti beroperasi,” kata Caswin. “Sekarang saja sudah susah, kalau nggak bisa narik bajaj, ya mau hidup dari mana?” ujar Ginan.
Namun, untuk sekarang ini, rombongan itu belum mau memikirkan mengenai rencana peremajaan bajaj. Hal yang ada di benak mereka adalah cepat sampai di kampung halaman dan selamat tiba di rumah masing-masing.
Kendati hanya menggunakan bajaj, kawanan ini sudah menyiapkan buah tangan untuk saudara-saudara di kampung. Berbagai makanan ringan dan minuman kemasan telah dibawa di dalam bajaj mereka. Kendati hidup susah di Jakarta, membawa oleh-oleh saat Lebaran bak sebuah kewajiban penyempurna kebahagiaan Lebaran di kampung halaman.
“Kalau nggak bawa apa-apa ke kampung kayaknya malu banget. Bisa keliatan kita di kota sukses apa tidaknya, ya dari oleh-oleh yang kita bawa,” ujar Hanan.
Setelah merasa cukup beristirahat, mereka melanjutkan sisa perjalanan mudik mereka ke Indramayu. Hanan dan kawan-kawan mengaku akan kembali ke Jakarta untuk mencari nafkah empat hari setelah Lebaran.
“Lebaran itu ibarat istirahat sebentar dari mencari nafkah. Silaturahim dengan keluarga besar di kampung. Nanti kembali ke Jakarta, ya cari nafkah lagi. Buat nyekolahin dua anak saya biar jadi orang sukses,” harap Hanan seraya memacu bajajnya meninggalkan Bekasi.