Kehalalan Multivitamin Diragukan?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: A.Syalaby Ichsan

Ahad 04 Aug 2013 09:10 WIB

Tampak berbagai jenis multivitamin di tangan seorang perempuan. Foto: corbis Tampak berbagai jenis multivitamin di tangan seorang perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan vitamin bagi tubuh secara normal bisa terpenuhi melalui ragam sayuran dan buah-buahan. Tak jarang, mereka yang berpuasa kurang memperhatikan pentingnya asupan vitamin itu. Sebagai alternatif pengganti, tidak sedikit pula orang yang memilih mengonsumsi multivitamin. 

Ada banyak varian vitamin yang biasa dikonsumsi. Suplemen tersebut memang dalam dosis yang terukur, dinilai membantu sistem metabolisme tubuh. Tetapi, konsumsi yang berlebihan justru berefek negatif. Misalnya, konsumsi vitamin E overdosis bisa memicu mual, sakit kepala, penglihatan kabur, susah bernapas, pembengkakan wajah atau bibir, hingga gatal-gatal. 

Tetapi, ada yang lebih krusial yang penting diperhatikan oleh konsumen Muslim, yakni soal status kehalalannya. “Ini sangat mendesak,” tulis Prof Anton Apriyantono dalam bukunya yang berjudul Tanya Jawab Soal Halal. Hal ini mengingat produk di pasaran yang masih jarang diperiksa status kehalalannya ialah obat-obatan. 

Salah satu unsur vitamin yang perlu dipertanyakan sesuai dengan daftar bahan ialah taurin. Taurin disintesis secara kimia dengan menggunakan precursor sistein. Sedangkan Sistein bisa diperoleh dari rambut manusia dan bulu unggas melalui proses ekstraksi menghasilkan sistin, kemudian sistin ini direduksi menjadi sistein. 

Sistein juga bisa diperoleh melalui sintesis organik atau fermentasi, yang jelas statusnya syubhat. Ini karena bahan dasarnya berasal dari rambut manusia. Penggunaan anggota tubuh manusia termasuk hal yang diharamkan.

Dengan demikian, pengunaannya pun bisa berakibat haram, minimal syubhat. Yang juga bisa bermasalah adalah flavor yang digunakan, bisa mengandung bahan-bahan yang bermasalah seperti fusel oil. 

Ia mengungkapkan, vitamin yang perlu dicermati kehalalannya adalah vitamin yang larut lemak, seperti vitamin A, D, dan E. Ketiga jenis vitamin ini biasanya ditambah carrier yang diperlukan agar vitamin ini larut dalam sistem aqueous.

Carrier ini harus bisa bersifat sebagai pengemulsi, biasanya menggunakan gelatin atau gum. “Gelatin jelas dipertanyakan kehalalannya,” tulis pakar pangan Institut Pertanian Bogor ini.  

Gelatin merupakan zat kimia padat, tembus cahaya, tak berwarna, rapuh (jika kering), dan tak berasa yang didapatkan dari kolagen yang berasal dari berbagai produk sampingan hewan. Gelatin umumnya digunakan sebagai zat pembuat gel pada makanan, farmasi, fotografi, dan pabrik kosmetik. 

Bahan gelatin ialah campuran antara peptide dan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang. Jika bahan gelatin itu berasal dari hewan halal, tentu hukumnya pun halal.

Sebaliknya, jika berasal dari hewan tak halal, baik dari status dasarnya maupun akibat penyembelihan yang tak Islami. Di samping itu, untuk beberapa vitamin yang mudah rusak, seperti vitamin A, kadang dienkapsulasi agar tidak mudah rusak.  

Sedangkan, vitamin yang berbentuk tablet kemungkinan besar vitamin yang digunakan dalam bentuk padat. Sedangkan, untuk penggunaan lain, bisa dalam bentuk emulsi untuk vitamin yang tidak larut sehingga titik kritisnya adalah emulsifier (pengemulsi) yang digunakan. Emulsifier atau zat pengemulsi adalah zat untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air.  

Terpopuler