REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, pada saat ini kita saksikan dalam suatu masjid terkadang dihadiri berbagai macam penganut aliran mazhab fikih, khususnya bulan Ramadhan.
Pertanyaannya, bolehkah imam sholat Tarawih dilakukan secara bergantian antara penganut aliran 11 rakaat dengan 23 rakaat?
Misalnya, delapan rakaat pertama dipimpin imam penganut 11 rakaat, lalu pada rakaat kesembilan hingga ke-20 oleh imam penganut 23 rakaat, sedangkan pada shalat Witir kembali dipimpin imam penganut 11 rakaat atau 23 rakaat.
H A Eddy Widjaja
Waalaikumussalam wr wb.
Seperti telah kami jelaskan pada edisi terdahulu, para Sahabat Nabi dan al-salaf al-shaleh (ulama generasi awal Islam) berbeda pendapat dalam menetapkan bilangan rakaat shalat Tarawih. Perbedaan itu terjadi karena tidak ada perintah atau larangan yang tegas dari Nabi menyangkut bilangan rakaat tertentu.
Nabi sendiri biasa melakukannya 11 rakaat karena di setiap rakaat membaca surah yang panjang sekali. Pada masa Umar bin Khattab, panjang bacaan Alquran dalam shalat dikurangi dan bilangan rakaat Tarawih ditambah menjadi 23 rakaat. Sebab, saat itu Tarawih mulai dilakukan secara berjamaah.
Keadaan makmum saat itu beragam, ada anak muda dan orang tua, bahkan anak kecil. Karena yang melakukan sebanyak 23 rakaat di Masjidil Haram saat itu menyelinginya dengan thawaf setiap empat rakaat, para penduduk Madinah yang tidak mau ketinggalan pahala menambah bilangan rakaat menjadi 39 rakaat.
Mereka mengganti thawaf yang tidak bisa dilakukan di Madinah dengan empat rakaat Tarawih. Kesemuanya itu adalah sunah yang harus atau boleh diikuti sebab perintah mengikuti sunah tidak hanya tertuju pada sunah Nabi, tetapi juga sunah para al-khulafa al-rasyidun.
Nabi bersabda, “Kalian harus mengikuti sunahku dan sunah para khalifah yang mendapat petunjuk (al-khulafa al-mahdiyyun al-rasyidun). Berpegang teguhlah kepada keduanya dengan sungguh-sungguh.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Atas dasar tersebut, pendapat mana saja yang diambil itu baik dan dianggap telah mengikuti sunah selama dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan tuma’ninah.
Apa yang dilakukan di sebagian masjid seperti pada kisah di atas adalah sebuah langkah yang mencerminkan sikap toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat yang perlu terus kita kembangkan. Meski, itu tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Namun, itu tidak berarti terlarang untuk dilakukan sebab ada dasar hukumnya, yaitu sama-sama mengikuti sunah. Perbedaan pendapat di kalangan ulama memang sejatinya memberikan alternatif kemudahan bagi umat dalam beribadah sehingga sesuai dengan keadaannya.
Allah memerintahkan kita berbakti dan beramal baik sesuai dengan kemampuan (QS al-Taghabun [64]: 16). Dalam konteks ini perbedaan dapat menjadi rahmat. Namun, persoalan muncul ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme berlebihan.
Keadaan ini melahirkan sikap saling membid’ahkan (tabdî`), saling menyesatkan (tadhlil), merasa paling benar, dan mengafirkan pihak-pihak lain (takfîr). Semoga kita dapat terus mengembangkan keharmonisan dalam perbedaan dan keragaman.
Sebab, perbedaan akan terlihat indah jika diwarnai oleh sikap saling menghormati dan menghargai. Demikian, wallahua’lam bish shawab.
Dr M Muchlis Hanafi