REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Tradisi menggebuk drum ketika jelang sahur tak lagi populer di kalangan pemuda Timur Tengah. Di masa lalu, tanpa tradisi itu Ramadhan seolah kurang semarak.
Kini, hanya segelintir orang yang masih menjaga tradisi itu. Rodwan Mahmoud Al Zahed, misalnya. Pria paruh baya ini masih setia menjaga tradisi itu,meski tak lagi kawan yang menemaninya berkeliling Tripoli, Lebanon.
Setiap jelang sahur, ia telusuri gang gelap. Dengan lantang ia lafazkan asma Allah dan shalawat Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasalam. Bagi warga Tripoli lain, mungkin itu gangguan, tapi bagi Al-Zahed itu bagian dari jihad.
"Ini adalah warisan ibadah yang perlu dilestarikan. Kita dibayar pahala untuk ini, namun banyak yang berpikir apakah ada upahnya selain pahala. Kita seperti materialis," katanya seperti dikutip alarabiya.net, Selasa (30/7).
Sosok-sosok Musaharati seperti Al-Zahed ini ada semenjak zaman Ustmani. Waktu itu, sultan Ustmani yang berkuasa meminta ada metode membangunkan masyarakat untuk sahur. Lalu lahirlah seni yang kini dilestarikan Al-Zahed ini.
Kemajuan teknologi secara perlahan menghilangkan tradisi itu. Kini, begitu jarang bisa melihat Musaharati berkeliaran di sudut gang sempit. Semakin tak terdengar suara pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan shalawat kepada Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasalam.
Sebagian warga Tripoli merasa kehilangan tradisi itu. Mereka beruntung memiliki Al-Zahed yang masih setia menjaga tradisi tersebut. "Saya pikir tradisi macam ini perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Bahkan warga Lebanon sendiri tak banyak yang mendukung," kata seorang pria Lebanon yang enggan menyebutkan namanya.