REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Mahalnya harga kebutuhan pokok membuat warga berekonomi lemah pasrah menghadapi Lebaran.
Salah satu pengemis yang ditemui di dekat mal di Warung Jambu, Bogor, Nurmala, mengaku tak bisa berbuat banyak mendekati Lebaran ini. Mahalnya barang kebutuhan pokok membuatnya jarang memasak lauk pauk bagi ketiga anak dan suaminya.
Tiap hari Nurmala hanya membeli satu liter beras. ''Lauknya sedapatnya saja. Kalau ada mie, makan mie,'' kata ibu tiga anak itu.
Penghasilan suami Nurmala hanya Rp 100 ribu per pekan. Itu pun setelah menjual enam hingga tujuh karung gelas plastik bekas air minum kemasan. Jikapun ada pasar murah, Nurmala mengaku jarak ikut karena tak memiliki uang.
Warga Cigombong, Kabupaten Bogor itu mengaku mengemis karena benar-benar terdesak kebutuhan hidup. ''Saya bingung saat semalam anak saya merengek minta dibelikan baju lebaran,'' kata Nurmala sambil mengusap air mata.
Seorang tukang parkir, Dedi, mengatakan, pendapatannya tak seimbang dengan laju kenaikan harga. ''Dibanding membayar listrik, kebutuhan makan sehari-hari jauh lebih mahal,'' kata pria yang mengaku pernah mengenyam bangku kuliah selama empat semester itu.
Pendapatan yang hanya Rp 50 ribu sehari dirasakan berat oleh Dedi. Ia masih harus membayar Rp 175 ribu per bulan untuk kontrakan seluas 12 meter persegi dan ongkos anaknya sekolah tiap hari.
Adanya bazar sembako murah yang digelar beberapa pihak, kata Dedi, cukup membantu mengurangi beban dapurnya. Walaupun harga barang di bazar dadakan kadang tak jauh berbeda dengan di pasar tradisional. ''Beda Rp 5.000 juga lumayan,'' kata bapak dua anak itu.
Dedi mengaku, keluarganya luput dari pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun ia tak mau memburu perangkat desa untuk mempertanyakannya. ''Tidak perlu ribut tentang hal itu. Bekerja seperti ini juga alhamdulillah,'' ungkap Dedi.