Bermalam di Bakauheni Demi Keamanan

Rep: M Fakhrudin, Fitriyan Zamzami / Red: M Irwan Ariefyanto

Jumat 02 Aug 2013 22:00 WIB

Antre di Bakauheni Antre di Bakauheni

REPUBLIKA.CO.ID,Tak ada yang bisa menjamin keamanan pemudik di Terminal Rajabasa. Petang menjelang Maghrib, Warman (34 tahun) baru saja tiba di Pelabuhan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan. Setelah seharian dengan bus menjelajahi jalan pantai utara dari Solo, Jawa Tengah, ia harus melanjutkan perjalanan mudik lagi ke Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Setibanya dari Pelabuhan Merak, Banten, menggunakan kapal feri, Warman beserta istri dan dua anaknya menghentikan perjalanan di Bakauheni. Keluarga ini lebih memilih bermalam di pelabuhan Bakauheni daripada melanjutkan perjalanan mudiknya menuju Terminal Induk Rajabasa, Bandar Lampung.

Meski malam ke-24 Ramadhan itu, jam baru menunjukkan pukul 19.30 WIB, keluarga tadi bersiap membentangkan kertas koran di lantai pinggir peron loket pelabuhan dan menjadikan tas gantungnya sebagai bantal. Mereka mulai merebahkan badannya yang sudah keletihan. Bukan saja keluarga Warman, hal yang sama secara bersamaan dilakukan para pemudik lainnya yang datang dari Merak, mulai petang hingga dini hari. Para pemudik tersebut lebih memilih bermalam di Bakauheni daripada melanjutkan perjalanan ke Rajabasa.

Bermalam di Bakauheni sudah menjadi tradisi bagi pemudik dari Jawa ke Sumatra ketika musim lebaran tiba. Perjalanan Bakauheni-Rajabasa menyita waktu tiga jam perjalanan. Sehingga, mereka sudah faham bila tiba di Bakauheni malam hari, dipastikan pemudik menginap semalam sambil menunggu waktu pagi. Pemudik enggan melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing, lantaran faktor keamanan. Para pemudik sudah mengetahui julukan bahwa di Terminal Rajabasa rawan kriminal. Julukan inilah setidaknya terus melekat di pikiran pemudik dari Pulau Jawa yang hendak melanjutkan perjalanan ke Sumatra.

"Kita takut Pak ke Rajabasa. Bukan apa-apa. Daripada kita dipaksa dan dicelakakan lebih baik menginap, besok pagi berangkat lagi," kata Warman, yang bermaksud berlebaran di rumah orangtuanya di Kotaagung, Tanggamus.

Ia menuturkan banyak cerita orang kalau tiba di Bakauheni malam hari disarankan lebih baik tidak melanjutkan perjalanan. "Bermalamlah di pelabuhan, kata orang-orang, biar sengsara asal aman dan selamat. Dari pada sampai di Terminal Rajabasa, jadi korban kejahatan," ujarnya. Entah sejak kapan, Terminal Rajabasa menjadi "sarang" kejahatan. Terminal bus antarkota antarprovinsi, antarkota dalam provinsi, terbesar di Sumatra ini harus menerima pil pahit menerima julukan itu dari dalam maupun luar Lampung.

Dari pemantauan pada H-5, di terminal tersebut masih berkeliaran sejumlah calo bus, preman, tukang copet, dan pelaku kekerasan lainnya. Meski pos polisi dan kantor pengelola terminal berada di dalamnya, aksi mereka kadang dilakukan secara terbuka. Misalnya saja, calo bus tak segan-segan memaksa calon penumpang menuruti kehendaknya. Belum lagi kehadiran sejumlah orang berbadan kekar, berambut panjang dan cepak, yang kadang ikut beraksi mempengaruhi pemudik yang mulai padat.

Tak segan-segan, para preman ataupun calo di sana, memaksa calon penumpang mengeluarkan sejumlah uang yang dibutuhkannya. Bila tidak dituruti, bukan tidak mungkin calon penumpang bisa pulang tinggal celana dalam, atau luka memar, dan lebih kejamnya bisa tewas berlumuran darah akibat pengeroyokan.

Polisi maupun petugas terminal tak mampu menangani ulah mereka. Bahkan, ada sentilan dari warga di sekitar terminal, antara petugas pun ada yang "main mata" untuk mencari tambahan menjelang lebaran. Dampak dari banyaknya pemudik yang bermalam di Bakauheni, suasana arus lalu lintas Bakauheni-Bandar Lampung menjadi macet. Betapa tidak, ribuan penumpang secara bersamaan melanjutkan perjalanan mudik menggunakan bus pada pagi hari tersebut. Jumlah ini, belum lagi ditambah arus penumpang dari Merak ke Bakauheni yang tiba pada pagi harinya, setiap satu jam sekali.

Terpopuler