REPUBLIKA.CO.ID, Ada masjid sekolah dengan warga sekolah sebagai jamaahnya, ada masjid perkampungan dengan warga kampung sebagai jamaah. Ada pula Masjid Lautze, dengan mualaf etnis Cina sebagai jamaahnya.
Masjid di yang terletak di Jalan Lautze, Sawah Besar, Jakarta Barat, ini memang berbeda. Bila berkunjung ke sana, orang yang tak terbiasa mungkin terkejut. Kita takkan menemukan bangunan bergaya Timur Tengah dengan kubah dan menara yang khas, melainkan bangunan ruko setinggi empat lantai yang didominasi warna merah.
Tak ada halaman yang dihiasi tanaman, tak ada pula plang besar yang bertuliskan nama masjid. Sekilas, dari luar yang tampak hanyalah ruko tepi jalan yang berwarna kontras dan sebuah plang bertuliskan Yayasan Haji Karim Oei.
Sejak 1991, Masjid Lautze fokus melayani jamaah etnis Tionghoa. Banyak orang Cina yang menjadi mualaf di tempat itu. Berdasarkan keterangan Lilis Kurnia, salah seorang mualaf jamaah Lautze, bulan ini sudah sekitar sembilan orang yang menjadi mualaf.
Kegiatan Ramadhan Masjid Lautze lebih sedikit dibanding masjid-masjid pada umumnya. Selama Ramadhan, Masjid Lautze hanya mengadakan buka puasa bersama pada Sabtu. Ini disesuaikan dengan jadwal jamaah. “Kalau Ahad, mereka mengeluh bakal capek di tempat kerja besoknya. Jadilah dibuat hari Sabtu,” kata Lilis.
Pengurus masjid menyediakan 150 porsi hidangan berbuka, meski jumlah pengunjung belum pasti. Rangkaian acara sepanjang buka bersama adalah takjil, shalat Maghrib berjamaah, makan bersama, shalat Isya dan tarawih berjamaah, kemudian ceramah. Meski sama-sama terdiri atas 11 rakaat, pelaksanaan tarawih di sana berbeda dengan masjid-masjid lainnya.
Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Haji Karim Oei Ali Karim mengatakan, setiap dua rakaat sekali, imam shalat tarawih akan diganti. Orang yang menjadi imam adalah mualaf jamaah. Alasannya, agar mereka terbiasa memimpin shalat berjamaah. “Jangan sampai mereka tidak berani memimpin shalat di rumah, padahal mereka adalah imam bagi anak dan istrinya,” kata Ali.
Ali menjelaskan, bulan Ramadhan adalah bulan untuk membina mualaf. Tak hanya melatih cara beribadah, tetapi juga keberanian untuk menjalani hidup sebagai Muslim. Tantangan beribadah bagi mualaf Tionghoa memang lebih besar. Tak sedikit dari mereka yang masih harus sembunyi-sembunyi melakukan ibadah karena berbeda agama dengan keluarganya. Tapi, ia berpendapat, hal itu bisa diatasi selama pendekatannya dilakukan secara bertahap.
Anna Kirbrandiana, pengurus Sekretariat Yayasan Haji Karim Oei, sepakat dengan apa yang dikatakan Ali. Harus ada pendekatan secara budaya dan dilakukan pelan-pelan. Ada budaya yang tak dapat langsung ditinggalkan begitu saja, misalnya, membakar hio. “Ya, kita bilang ke mereka, mulailah dari mengubah niat,” kata Anna.
Begitu pula masalah beda pemahaman dengan keluarga, Anna mengakui, kebanyakan mualaf mengalami masalah karena berubah sikap secara drastis. Ia menyarankan kepada mualaf untuk pelan-pelan memberikan pemahaman kepada keluarga mereka. “Kalau ngomongnya baik-baik, insya Allah mereka mau menerima.”
Lilis yang kini bekerja membantu Anna memeluk Islam sejak 1997. tapi, ia baru serius menjalankan agama sejak 2006 setelah bercerai dengan suaminya. Awalnya, ia memeluk Islam karena akan menikah dengan mantan suaminya. Perceraiannya justru memanggilnya untuk lebih taat. “Mungkin inilah cara Allah menegur saya,” ujar Lilis sambil tersenyum.
Perempuan berjilbab itu menuturkan, setelah berpisah dengan suami dan anaknya, ia merasa sedih dan kesepian ketika menjalani Ramadhan. Ia harus sahur, berbuka, dan Lebaran sendiri di rumah almarhum orang tuanya yang terletak di bilangan Rajawali.
Saat ini, ia sudah terbiasa menjalani Ramadhan. Hari-harinya di bulan puasa pun tak lagi sepi karena nyaris tiap hari ia ke masjid. Ia juga sudah memiliki rencana untuk Idul Fitri. Seperti tahun sebelumnya, Lilis akan memasak di masjid pada malam takbiran, kemudian berkunjung ke rumah jamaah lainnya setelah shalat Id.