Ngabuburit di Kota yang Lengang

Red: A.Syalaby Ichsan

Kamis 25 Jul 2013 11:41 WIB

Abah Alwi Foto: Republika Abah Alwi

Oleh Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID, Ngabuburit, kata dalam bahasa Sunda untuk menunggu waktu berbuka, menjadi kata yang populer tiap Ramadhan.

Pada 1950-an dan 1960-an, saat Jakarta masih merupakan kota yang lengang, remaja pergi ngabuburit dengan bersepeda.

Daerah-daerah yang sekarang sudah merupakan bagian dan menyatu dengan Jakarta kala itu masih merupakan kampung.  

Tebet yang kini menjadi salah satu pusat kemacetan, kala itu merupakan daerah yang dipenuhi kebun buah-buahan. Daerah ini mulai berkembang ketika Presiden Sukarno memindahkan penduduk Senayan ke Tebet tahun 1960-an menjelang Asian Games II di Jakarta.

Masa itu untuk ngabuburit ke Tebet saya dan teman-teman harus mengayuh sepeda dari wilayah Kramat, Jakarta Pusat. Namun, tidak terasa letih karena masih banyak pohon rimbun dan sesampainya di sana kami dapat beristirahat di kebun-kebun  rindang.

Naik sepeda ke Tebet dari Kramat seingat saya dapat ditempuh hanya dalam waktu setengah jam. Daerah-daerah di selatan Jakarta, seperti Cipete, Cilandak, Pondok Indah yang ketika itu lebih dikenal dengan sebutan Pondok Betung, masih berupa kebun karet.

Nama Pondok Indah sendiri baru terkenal ketika dibangunnya perumahan-perumahan mewah. Di sekitar Jakarta, ketika itu memang banyak terdapat pohon karet. 

Misalnya, dari Ciputat ke Parung sampai mendekati Bogor di kiri kanan jalan pasti melewati deretan pohon karet. Daerah Pancoran sampai Pasar Minggu juga banyak kebun buah-buahan.

Sampai tahun 1970-an, banyak warga berekreasi di Pasar Minggu. Banyak pula warga naik kereta api dari pusat kota dan berhenti di Stasiun Pasar Minggu. 

Jakarta dulu memang banyak kebun, terbukti dari nama-nama tempat di Jakarta yang menggunakan nama “kebon”. Seperti, Kebon Sirih, Kebun Jeruk, Kebon Pala, Kebon Melati, Kebon Nanas, Kebon Kacang, Kebon Jahe, dan Kebon Sayur yang kini menjadi tempat Hotel Indonesia berdiri. 

Saat Jakarta masih dipenuhi “kebon”, Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman yang kini menjadi jalan utama di Ibu Kota belum selebar sekarang. Nama Jalan Thamrin diberikan oleh Gubernur Ali Sadikin menjelang tahun 1970 untuk menghormati pahlawan nasional Betawi Mohammad Husni Thamrin.  

Jalan Gatot Subroto pelebarannya juga dilakukan pada masa Bang Ali. Pada awal 1970-an ia membangun kawasan Kuningan, daerah yang ketika itu menjadi pusat perdagangan susu dan peternakan sapi di Jakarta. Sekarang jalan ini merupakan kawasan segitiga emas bersama Jalan Sudirman dan Jalan Gatot Subroto.

Selain itu, Jalan Kramat, Matraman, Jatinegara, termasuk Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, juga belum selebar sekarang. Di masa Bang Ali juga jalan-jalan ini dilebarkan. Padahal, arus kendaraan masih lengang saat itu. 

Suasana dan lingkungan hidup di Jakarta pada 1950-an masih terasa tenang, asri, hijau,  dan rindang. Masih banyak pepohonan, taman, dan ruang terbuka, termasuk lapangan sepak bola yang terdapat di tiap kampung. 

Di sepanjang jalan raya terdapat pohon asam dan kenari. Yang terakhir ini menjadi nama tempat (Gang Kenari) di kawasan Salemba. Pada 1950-an penduduk Jakarta hanya satu juta jiwa, jauh dari jumlah penduduk sekarang yang jumlahnya mencapai lebih dari 11 juta jiwa. 

Ngabuburit di masa saya remaja juga banyak diisi dengan bermain sepak bola. Tiap-tiap kampung memiliki kesebelasan sepak bola dan sering mengadakan pertandingan antarkampung.

Bermain sepak bola kala itu masih telanjang kaki. Maklum, sepatu bola harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kami penduduk kampung. Bedanya lagi dengan zaman sekarang, saat itu kami tak perlu membayar untuk sewa lapangan. 

Terpopuler