REPUBLIKA.CO.ID, Yasir bin Amir, ayahanda Ammar, berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya, ia merasa betah tinggal di Makkah. Bermukimlah ia di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah.
Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayyah binti Khayyath. Dari perkawinan ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Keislaman mereka termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun (generasi pertama). Sebagaimana halnya orang-orang saleh yang termasuk dalam golongan yang pertama masuk Islam, mereka cukup menderita karena siksa dan kekejaman Quraisy.
Orang-orang Quraisy menjalankan siasat terhadap Kaum Muslimin sesuai situasi dan kondisi. Seandainya mereka ini golongan bangsawan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Setelah itu mereka lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit.
Jika orang beriman berasal dari kalangan penduduk Makkah yang rendah martabatnya dan yang miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala.
Maka keluarga Yasir termasuk dalam golongan yang kedua ini. Soal penyiksaan mereka, diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari, Yasir, Sumayyah dan Ammar dibawa ke padang pasir Makkah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai azab dan siksa.
Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini amat ngeri dan menakutkan, namun Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh. Dari awal hingga akhirnya telah membuktikan kepada kemanusiaan suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur.
Rasulullah SAW selalu mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri.
Pengorbanan-pengorbanan mulia yang dahsyat ini tak ubahnya dengan tumbal yang akan menjamin bagi Agama dan akidah keteguhan yang takkan lapuk.
Demikianlah, berlaku pula bagi agama Islam. Makna ini telah dijelaskan oleh Alquran kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat.
Firman Allah SWT: "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman” padahal mereka belum lagi diuji?" (QS Al-Ankabut: 2)
"Apakah kalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang tabah?" (QS Ali Imran: 142)
"Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta." (QS Al-Ankabut: 3)
Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW mengunjungi mereka, Ammar berkata, "Wahai Rasulullah, azab yang kami derita telah sampai ke puncak."
Rasulullah SAW berkata, "Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan... Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah surga!"
Siksaan yang diami oleh Ammar dilukiskan oleh kawan-kawannya dalam beberapa riwayat. Berkata Amar bin Hakam, "Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa yang diucapkannya.”
Ammar bin Maimun melukiskan, "Orang-rang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah SAW lewat di tempatnya, memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, 'Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim!”
Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya.
Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para penderanya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya.
Semenjak hukuman bakar dengan besi panas, sampai disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka.
Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu berkata kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”
Ammar pun mengikuti perintah mereka tanpa menyadari apa yang keluar dari bibirnya. Ketika siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya.
Naka hilanglah akalnya dan terbayanglah di matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi.
Ketika Rasulullah SAW menemui sahabatnya itu didapatinya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya berkata, "Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?”
“Benar, wahai RasuIullah," ujar Ammar. Rasulullah tersenyum berkata, “Jika mereka memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”
Lalu dibacakan Rasulullah kepadanya ayat mulia berikut ini: "Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan..." (QS An-Nahl: 106)
Kembalilah Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya. Ia tak lagi merasakan sakit. Jiwanya tenang. Ia menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang begitu kokoh.