REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berpuasa di tengah laut bukan hal baru bagi Beni. Meski sulit, pria asal Indramayu itu tetap menjaring ikan di bawah teriknya suhu di tengah laut. Dengan cuaca ini, Beni harus melawan perihnya dahaga.
Dia harus menjaring ikan dan mengangkatnya ke kapal. Beni pun harus menggunakan tenaga yang ekstra jika tidak ingin jatuh ke laut. Tidak hanya itu, suhu di tengah laut berbeda dengan suhu di daratan. Panasnya terik matahari bisa 3x lipat lebih panas.
Sementara, Beni harus menghadapi malam yang dingin. “Suhu di laut itu berbeda dengan di daratan, maka banyak anak buah kapal yang tidak berpuasa walaupun muslim. Kadang-kadang ada yang enggak kuat karena haus, bukan lapar”, ujarnya saat di temui RoL, di Jakarta, Senin (22/7)
Beni melaut dari Perairan Jawa hingga ke Kalimantan. Hasil tangkapannya pun beragam. Mulai ikan teri, tenggiri, tongkol sampai ikan hiu yang beratnya lebih dari 1 kwintal.
Sebelum pergi melaut, Beni sudah menyiapkan perbekalan selama di kapal, termasuk air bersih. Beni biasa membeli air PAM yang di jual di sekitar pelabuhan. Dengan membeli air untuk kebutuhan 10 hari, Beni harus mengeluarkan kocek sekitar Rp 80 ribu.
Pukul 16.00 WIB, Beni mulai pergi melaut dan menebar jaring-jaring di berbagai titik. Setelah itu, dia beristirahat sambil menunggu waktu berbuka puasa di tengah laut.
Untuk menentukan waktu berbuka, Beni biasanya melihat dari terbenamnya matahari. Sesekali, dia pun menggunakan jam tangan yang terbelit di tangan kiri. Lalu sekitar jam 12 malam. ia mengangkat kembali jaring-jaring yang telah ia sebar sebelumnya.
Kekhawatiran Beni ketika di laut adalah angin puting beliung yang sering ditemukan di musim Pancaroba. Beni mengaku, terkadang tertiup angin itu ketika sedang menangkap ikan di lautan.
Tidak hanya puting beliung, gelombang yang bisa mencapai 2 meter pun turut menjadi perhatian yang serius ketika melaut. Awak kapal harus selalu mengikuti perkembangan gelombang.
Jika ada gelombang yang dapat membahayakan, kapal tidak boleh memutar balik karena dapat membuat kapal terjungkal. Cara yang tepat adalah dengan menyerongkan kapal 15 derajat dari datangnya arah gelombang.
Banyaknya resiko yang sering terjadi di lautan tetap tidak menjadi masalah bagi Beni agar selalu mendapat penghasilan. Di cuaca ekstrim yang sering terjadi, Beni masih mendapatkan uang dari hasil tangkapan ikan senilai Rp 50 ribu.
Hanya, Beni tidak bisa berbuka puasa bersama Istri dan keempat anaknya pada puasa ini. Beni meninggalkan mereka di Indramayu. Untuk mengobati rindu, Beni berkomunikasi melalui telepon soal keadaan anak dan istrinya.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, barulah Beni akan mendapatkan libur. H-3 Lebaran Beni bakal berangkat dari Jakarta untuk pulang ke Indramayu. Menemui anak dan istri di kampung.