REPUBLIKA.CO.ID, Seperti kebiasaan warga Muslim lainnya ketika bulan Ramadhan, Sumarni dan keluarganya pun selalu sahur untuk melaksanakan ibadah puasa. Sekitar pukul 03.00 WIB, Sumarni, empat orang anaknya dan suaminya tengah menyantap hidangan sahur.
Mereka adalah warga Kalitengah Kidul, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman yang masih bersikukuh untuk tinggal di Kawasan Rawan Bencana di lereng Gunung Merapi.
Desa tersebut dihuni oleh sekitar 329 warga. Udara yang dingin yang disertai hujan semalaman di kawasan itu tidak membuat keluarga mereka mengurungkan niatnya untuk bangun dan sahur.
Usai menyantap hidangan sahur, Jamin, suami Sumarni pun berniat untuk mengaji. Mengaji memang menjadi kebiasaannya, terlebih selama bulan suci ini. Jamin selalu menyempatkan diri untuk mengaji.
Sekitar pukul 04.00 WIB, ia merasakan lagi dinginnya air untuk berwudhu. Namun, tiba-tiba suara gemuruh yang keras beserta getaran menghentikan langkahnya untuk mengaji.
Ia segera memeriksa keadaan di sekitar luar rumahnya mencari tahu arah suara gemuruh itu berasal. Di luar rumahnya pun, para tetangganya telah bergegas mengeluarkan kendaraan bermotornya. Mereka bersiap-siap hendak pergi menjauh dari arah suara gemuruh.
"Ketika keluar rumah, ngecek gunung, warga sudah mempersiapkan diri dengan membawa sepeda motor," cerita Jamin. Usahanya untuk mengamati suara gemuruh tersebut tak membawa hasil. Lantaran hanya kabut dan langit yang menghitam seperti mendung yang gelap yang Jamin lihat.
Tak lama kemudian, ia pun menyuruh keluarganya untuk segera menyelamatkan diri dan menjauh dari rumahnya. Sumarni dan empat anaknya yang mendengar suara gemuruh itu pun panik.
"Suaranya besar bergemuruh seperti suara truk yang sedang mengeluarkan pasir dari boxnya. Tapi truknya kan sedang istirahat, ternyata suara dari gunung. Saya panik, karena pada erupsi 2010 suaranya tidak sebesar ini. Karena saya sekarang lebih dekat, saya bisa mendengarkan suara gemuruh yang besar," cerita Sumarni.
Sumarni dan anak-anaknya pun segera menyelamatkan diri menuju barak pengungsian di balai desa Glagaharjo menggunakan dua sepeda motor.
Sedangkan, Jamin, suaminya siap siaga memantau perkembangan gunung bersama warga lainnya di desanya. "Kata warga sini yang ikut mengungsi, juga terlihat guguran lava," tambahnya.
Desanya memang terletak di kawasan rawan bencana. Sehingga, para warganya pun harus waspada dan siaga ketika Gunung Merapi terbangun dari tidurnya. Hujan yang deras pagi itu pun tidak menghalangi warga untuk segera mengungsi.
Meskipun tinggal di daerah rawan bencana, mereka menolak menempati hunian tetap yang disediakan pemerintah sebagai tempat relokasi akibat erupsi Merapi 2010. "Yang di huntap (hunian tetap) saja masih mengungsi, lha mendingan saya tinggal di sini, sama saja, juga mengungsi. Di sana ternak mau dikasih makan apa," katanya.
Desanya telah mempersiapkan empat truk dan beberapa mobil untuk evakuasi warga. Namun, karena kepanikan warga yang mendengar bunyi sirine tanda bahaya, mereka dengan sendirinya turun gunung dan tinggal beberapa warga yang masih berjaga di desa tersebut.
Tak lama kemudian, di sekitar desa Kalitengah Kidul dan Kalitengah Lor, warga mencium bau belerang yang menyengat yang dibarengi dengan hujan abu vulkanik.
Di Balai Desa Glagaharjo, warga yang mengungsi semakin bertambah. Mereka kebanyakan adalah para lansia, balita, dan ibu hamil. Koordinator Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DIY, Yoyok Mich, mengatakan ketika tiba di barak pengungsian, tidak sedikit warga yang menangis karena panik.
Mereka kemudian berlindung dari abu vulkanik dan derasnya hujan di dalam aula yang cukup luas untuk menampung sekitar 500 orang. Menurut Yoyok, suara gemuruh yang terjadi tersebut merupakan suara terbesar sejak erupsi Merapi 2010.
Beberapa warga pun mengeluhkan sakit kepala, sakit perut setibanya di balai desa. Tim kesehatan dari Puskesmas Cangkringan pun memberikan pengobatan dan pengecekan kesehatan kepada warga yang mengungsi.
Sekitar pukul 07.00 WIB, warga yang mengungsi mendapatkan informasi Gunung Merapi masih dalam kondisi normal seperti biasanya. Mereka pun dihimbau untuk pulang dan tenang, namun tetap waspada. Perlahan, para warga di dua desa itu kembali pulang, hanya tersisa para balita, ibu hamil, dan lansia di balai desa.
"Diberitahu gunung sudah aman, saya langsung pulang ke rumah. Tapi masih hujan abu dan bau belerang," kata Sumarni. Setiba di rumah, ia pun kembali beraktivitas seperti biasanya, mengurus rumah. Anak-anaknya pun bermain di halaman rumahnya. Namun, suaminya masih tetap mengawasi tingkah gunung yang pernah erupsi pada 2010 lalu itu.