REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Muslim Uighur di daerah otonom Xinjiang, Cina, menjalani puasa Ramadhan dengan kecemasan. Sebab, ribuan militer Negeri Tirai Bambu masih mengisolasi wilayah barat laut negara itu, menyusul kerusuhan yang menewaskan 35 penduduk setempat bulan lalu.
Anadolu Agency melansir saat Senin (8/7), militer Cina belum menarik operasi militer untuk mengejar kelompok dan para petikai penyebar kerusuhan. Di Kota Turpan, pasukan keamanan bersenjata lengkap berpatroli 24 jam tanpa henti mengawasi kelompok Muslim Uighur.
Penyambutan awal Ramadhan di Ibu Kota Urumchi berlangsung tidak semarak. Kota terbesar milik warga Muslim pribumi itu biasanya menyiapkan pasar akbar tahunan menyambut hari pertama puasa. Pasar raya itu saban tahunnya berlangsung meriah. Namun, pengawalan ketat militer membuat umat Muslim setempat enggan keluar rumah.
Tidak ada jaminan bagi umat Muslim mendapatkan keamanan sepanjang bulan suci. Sebanyak 35 orang tewas, di antaranya 16 warga sipil Uighur dan dua orang polisi. Kejadian ini terjadi ketika sekelompok tak dikenal menyerang kantor polisi, gedung pemerintah dan konstruksi bangunan di Lukqun, Xinjiang, Kamis (27/6).
Kepolisian setempat membalas dengan menembak mati 11 penyerang. Sebanyak 21 polisi dan beberapa warga mengalami luka-luka. Namun polisi berhasil menangkap 4 orang penyerang. Meski 90 warga Cina berasal dari etnis Han, namun 40 persen warga Xinjiang sebanyak 22 juta orang adalah etnis mayoritas Mereka diperintah warga Han.
Selama ini etnis Uighur memprotes langkah Pemerintah Cina yang mendorong migrasi besar-besaran warga Han ke Xinjiang. Bentrokan kedua etnis ini memuncak di tahun 2009, ketika 200 orang tewas akibat kerusuhan di ibu kota provinsi, Urumqi.