Menjaring Kepercayaan Dalam Mengelola Zakat

Red: M Irwan Ariefyanto

Sabtu 06 Jul 2013 05:22 WIB

Zakat fitrah (ilustrasi). Foto: blogspot.com Zakat fitrah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,Setiap bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, zakat menjadi aktivitas yang sangat bergairah di seluruh pelosok negeri ini. Tidak hanya zakat fitrah yang memang harus ditunaikan menjelang Idul Fitri tiba, zakat mal dan zakat lainnya juga banyak ditunaikan di bulan suci ini.

Namun, manfaat zakat belum seluruhnya dirasakan oleh umat. Sebagai negara dengan penduduk Muslim paling besar di dunia, Indonesia menjadi negara yang berpotensi makmur karena zakat. Faktanya, masih banyak masyarakat yang bahkan berebut untuk mendapat jatah bantuan langsung sementara masyarakat dari pemerintah. Lalu, di manakah manfaat zakat mengalir?

Persoalannya, membicarakan potensi zakat dengan realisasi kadang jauh berseberangan. Sebab, kenyataan mayoritas penduduk muslim tidak berbanding lurus dengan jumlah zakat yang dikelola lembaga amil zakat. Artinya, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga amil masih sangat minim. Akibatnya, peran zakat, infak, sedekah, dan wakaf dinilai masih belum terlihat memberi perubahan. Meskipun, lembaga zakat saat ini sudah banyak berdiri dan aktif mengumpulkan dan mengelola dana umat.

Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), jumlah mustahik atau penerima zakat saat ini mencapai 1,8 juta orang. Jumlah itu masih terlalu sedikit dibanding jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Sedangkan, dari data IMZ, persentase kemanfaatan zakat untuk mengentaskan kemiskinan hanya 2,7 persen di Indonesia. Jumlah ini sangat kecil sekali dibanding unsur pengentasan kemiskinan lain.

Direktur Bidang Pemberdayaan Masyarakat Rumah Yatim Ferry Prihantoro mengakui peran zakat masih sangat jauh untuk mengentaskan kemiskinan. Penyebabnya, tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga zakat masih sangat kurang.

Sebagian masyarakat lebih memilih untuk memberikan zakatnya secara langsung ke masyarakat. Padahal, zakat bukan hanya untuk kebutuhan konsumtif semata, tapi juga produktif. “Kunci awalnya adalah soal kesadaran dan kepercayaan pada lembaga zakat,” kata Ferry kepada ROL.

Kepercayaan itu sebenarnya mudah didapat kalau lembaga zakat itu transparan. Memang sudah menjadi kewajiban lembaga zakat untuk transparan. Terlebih, sudah ada undang-undang tentang lembaga zakat. Jadi, langkah paling tepat menggerakkan potensi zakat untuk Indonesia sejahtera adalah menjaring kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat yang sudah ada.

Menurut Ferry, di masa mendatang, potensi zakat untuk Indonesia sangat terbuka lebar. Pasalnya, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah dana zakat yang dikelola dari masyarakat yang membayar zakat. Terlebih, kondisi perekonomian Indonesia yang semakin mantap. Di Rumah Yatim sendiri ada peningkatan pengelolaan dana zakat sebesar 50 persen setiap tahunnya. “Saya optimistis potensi besar zakat Indonesia akan maju,” tambah dia.

Menurut Menteri Agama Suryadharma Ali, ada yang kurang tepat dalam pengelolaan zakat umat Islam di Indonesia. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Muslim. Harusnya, pengelolaan zakat dapat dimaksimalkan untuk mengentaskan kemiskinan.

Menurut Suryadharma Ali, Islam sebenarnya antikemiskinan. Zakat, infak, dan sedekah merupakan bukti bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk kaya.

Terpopuler