Menimbun Barang Menjelang Ramadhan, Bolehkah?

Red: A.Syalaby Ichsan

Selasa 02 Jul 2013 11:39 WIB

Penimbunan solar, salah satu bentuk penyelewengan BBM bersubsidi Foto: Antara Penimbunan solar, salah satu bentuk penyelewengan BBM bersubsidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dinilai menjadi ritual tahunan yang memengaruhi pola konsumsi masyarakat, khususnya umat Islam.

Praktisi hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha A. Junaidi menjelaskan, pola konsumsi ini mengakibatkan meningkatnya permintaan bahan pokok. Bagi pelaku usaha khususnya pelaku usaha sektor komoditas pokok, ritual tahunan ini menjadi momen untuk mendapatkan keuntungan lebih. 

Pada dasarnya, kewajaran harga akan tetap terjaga, sepanjang pelaku usaha menaikkan keuntungan dengan meningkatkan kuantitas produksi atau persediaan di pasar (equilibrium permintaan dan penawaran). 

Namun, harga menjadi tidak wajar bilamana hal ini terjadi karena suplai di pasar secara sistematis dikurangi secara sengaja. Akibatnya, harga meningkat. Cara inilah yang disebut sebagai penimbunan. 

Penimbunan adalah cara yang paling mudah dan efektif bagi spekulan untuk menaikkan keuntungan meski pun pada hakikatnya, hal itu mengeksploitasi konsumen.

Menurutnya, jika pada bulan-bulan sebelumnya saat suplai barang teratur harga masih dalam batas wajar sehingga seorang dengan penghasilan tetap masih menyisakan uang untuk membeli susu anak nya. Akan tetapi, pada masa penimbunan, harga barang naik sehingga tidak ada uang tersisa.

Sisa uang untuk susu ini telah berpindah ke penimbun yang tidak ubahnya penghasilan riba yang diharamkan. 

Pada masa Nabi, penimbunan dilakukan dengan cara menyimpan dan sengaja tidak memperdagangkan barang kebutuhan itu meskipun diketahui oleh si pedagang tentang besarnya kebutuhan konsumen terhadap barang tersebut. 

Hal ini dilakukan dengan maksud untuk menaikkan harga. Nabi bersabda, “Siapa menimbun bahan makanan selama 40 malam maka sungguh Allah tidak perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, dan Bazaar). 

Empat puluh malam adalah waktu yang digunakan ketika itu untuk menilai telah terjadinya penimbunan karena tidak wajar bagi seorang pedagang, untuk menyimpan bahan makanan selama itu jika hanya diperuntukkan menjaga ketersediaan stok atau kebutuhan pribadinya.

Esensi dari hadis ini adalah penimbunan ini telah terjadi manakala seorang pedagang menyimpan barangnya untuk jangka waktu yang tidak wajar, untuk ukuran sifat dan peruntukan barang tersebut. 

Dalam konteks kekinian, hadis ini memberi pesan bahwa bilamana suatu pabrik yang berkapasitas produksi 1.000 ton per bulan tiba-tiba mengurangi produksinya menjadi 800 ton pada masa puasa atau Lebaran tanpa alasan, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengondisian yang tidak ber beda dengan ‘penimbunan’.

Menyimpan barang saat sangat dibutuhkan oleh konsumen seperti pada masa puasa dan Lebaran yang mengakibatkan kenaikan harga, jelas berbeda dengan menyimpan barang untuk sekadar memenuhi kebutuhan. 

Terpopuler