REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari, Aisyah RA memperhatikan suaminya, Rasulullah SAW, tenggelam dalam sujudnya. “Aku menyangka bahwa Rasulullah saw telah diambil,” kata Aisyah di hadis riwayat Baihaqi dari Ala’ bin Harits.
Rasulullah bertanya, “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini?” “Rasulullah yang lebih tahu,” jawab Aisyah. Kemudian, Nabi Muhammad berkata, “Malam ini adalah malam pertengahan Sya’ban. Allah mengawasi hamba-Nya pada malam ini maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang, dan menyingkirkan orang-orang yang dengki.”
Ketua Umum Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) Ustaz M Zaaf Fadhlan Rabbani Garamathan menyatakan, apa yang dilakukan Rasulullah pada Sya’ban adalah untuk evaluasi diri. Saat mengevaluasi diri, betapa sedikitnya waktu yang dimanfaatkan untuk beribadah.
Terik mentari di siang hari dimanfaatkan untuk menghilangkan dahaga, bukan berpuasa. Malam selalu untuk bertiduran, bukan bertahajud. Suasana pagi bukan untuk berdhuha, melainkan justru untuk berghibah. “Semua itu harus jadi renungan betapa kita melalaikan waktu-waktu yang tepat untuk berdekatan dengan Allah,” ujarnya.
Rasulullah, kata Fadhlan, menyadari harus selalu dekat dengan Allah. Terlebih lagi, di Sya’ban yang jelas-jelas mendekati Ramadhan. Akan sangat sia-sia jika bulan tersebut tidak dimanfaatkan untuk membiasakan diri beribadah.
Ustaz Fadlan mengajak, mari bersihkan diri dari dosa. Jangan terus tenggelam dalam nista sehingga selalu dalam nestapa. Batin yang ada di dalam setiap insan berhak bermunajat dan berdoa.
“Jiwa merindukan kedekatan dengan Allah yang penuh cinta,” katanya. Janganlah hasrat seperti itu menjadi sia-sia. Janganlah menyia-nyiakan Sya’ban hanya untuk dunia, yang penuh sandiwara dan nestapa.
Teringat akan sahabat Rasulullah yang tertulis dalam literatur klasik. Mereka semuanya merindukan Ramadhan sejak jauh hari. “Enam bulan sebelum Ramadhan tiba mereka kurangi perkara duniawi,” katanya. Yang menjadi fokus adalah ibadah untuk serasa di alam surgawi.