REPUBLIKA.CO.ID,Menjelang Lebaran, biasanya terjadi kesibukan luar biasa di kantor pos, yaitu menyortir surat surat yang masuk, khususnya kartu ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri. Kartu Lebaran, baik yang berhias kaligrafi maupun gambar masjid, banyak dijual pedagang kaki lima di depan kantor pos. Tapi, itu dulu. Sekarang, tidak banyak lagi ditemukan penjual kartu Lebaran. Saat ini, ucapan minal ‘aidin wal faizincukup dilakukan melalui SMS atau telepon seluler. Banyak juga yang memilih menggunakan fasilitas Blackberry Messenger (BBM), termasuk kepada keluarga dan teman sejawat di luar negeri.
Sejarah kantor pos di Indonesia telah berlangsung sejak masa VOC atau sekitar tiga abad lalu. Mulamula kantor pos berpusat di Kota Tua, berhadapan dengan Museum Sejarah Jakarta yang kala itu merupakan Balai Kota Batavia. Pengiriman surat abad ke17 dan ke18 lebih banyak menggunakan kereta kuda. Pengiriman ke Bogor perlu waktu sekitar delapan jam. Tapi, bila hujan dan jalan berlumpur, terpaksa surat harus menginap di perjalanan. Dulu, di depan kantor pos Jakarta Kota, terdapat terminal untuk mereka yang bepergian jauh de ngan kereta kuda. Sebelum terdapat kereta api (1873), bepergian ke Bogor selalu menggunakan Jalan Raya Pos ( Grote Postweg).
Abad ke19, dengan dibangunnya kota baru Weltevreden (sekitar Monas dan Lapangan Banteng), kegiatan pos di Batavia makin meningkat. Maka, dibangunlah kantor pos di depan Pasar Baru yang gedungnya hingga kini masih kita dapati. Sampai 1960an, gedung ini lebih dikenal sebagai gedung PTT, singkatan dari Pos, Telegram, dan Telepon. Waktu itu, ratusan pegawai PTT tiap pagi dan siang mengantarkan surat ke rumahrumah dengan naik sepeda. Belanda menamakan mereka post bode. Kala itu, di jalanjalan raya terdapat banyak kotak surat yang oleh Belanda disebut brivenbus. Secara rutin, pagi dan sore, isi kotak surat dikeluarkan untuk dibawa ke kantor pos dan kemudian dikirimkan ke pene ri ma. Sekarang ini pegawai pos yang bekerja mengantarkan barangbarang kiriman dengan naik motor. Jadi, tidak perlu berkeringat seperti pengantar pos terdahulu yang masih bersepeda.
Tapi, sampai 1960an, para pegawai dan anakanak sekolah melakukan kegiatan seharihari dengan bersepeda. Motor dan mobil masih jarang berseliweran di jalan. Sepeda pun mulai dikenal di Batavia menjelang abad ke20. Sepeda merek Rover dan Raleigh sudah merupakan kebanggaan dan tidak banyak dimiliki karena harganya sangat mahal, yaitu 500 gulden. Transportasi di Jakarta memiliki sejarah panjang. Di samping trem, transportasi yang banyak terdapat di Batavia adalah delman, sado, dan do kar. Sedangkan, orangorang tajir menggunakan kereta palankijn yang ditarik empat ekor kuda, dengan saisnya duduk di bagian depan, seperti kita lihat dalam filmfilm Hollywood dengan latar abad pertengahan.
Kalau sekarang hampir semua tempat di Jakarta tidak bisa lepas dari kemacetan, masalah yang memusingkan penduduk ini boleh dikata tidak terjadi di masa itu. Berdasarkan laporan 1916, jumlah mobil di Batavia tidak lebih dari 5.000 unit, di antaranya disewakan dan dijadikan taksi. Sekarang ini, lebih dari 25 ribu taksi beroperasi di Jakarta.
Belum lagi mobil pribadi dan angkutan penumpang. Ditambah sepeda motor yang jumlahnya tak terhitung. Sayangnya, pengendara motor yang umumnya anakanak muda banyak yang tidak disiplin dalam berlalu lintas. Hingga, banyak yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Semoga dalam arus mudik Le baran angka kecelakaan bisa ditekan sekecil mungkin.