REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM - Masyarakat Sudan begitu terpukul ketika mereka tidak lagi memiliki cadangan minyak. Ketergantungan itu memukul perekonomian Sudan. Harga-harga bahan pangan meroket akibat inflasi yang sulit ditekan.
Saat ini inflasi tahunan Sudan mencapai 41.6 persen pada Juli, hapir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Kondisi kian runyam ketika sebagian besar bahan pangan Sudan harus diimpor.
Di pasaran, sekilo daging domba mencapai 50 Pound Sudan atau lebih mahal 15 Pound Sudan dari tahun lalu. Sementara, sekilo tomat mencapai 30 Pound Sudan atau dua kali lipat dari tahun lalu.
Abdelaziz Ibrahim, seorang guru di Khartoum, tak lagi mau melirik pedagang daging. Ia tahu karena tidak ada gunanya. Ia hanya bisa pasrah berlebaran tanpa daging. "Terlalu mahal," gerutu dia seperti dikutip alarabiya.net, Ahad (12/8).
Ia mengatakan harga bahan pangan di Sudan, sudah melewati batas logika. Menurut Ibrahim, Ramadhan tahun ini merupakan yang terburuk. Harga bahan pangan naik, sehingga ia bersama istri dan enam anaknya tidak lagi mengkonsumsi daging tetapi lebih banyak mengkonsumsi banyak sayuran.
Dihadapkan dengan defisit anggaran, Presiden Omar Hassan Al-Bashsir telah meluncurkan langkah penghematan yang memicu protes keras. Di Khartoum dan kota besar lain, lebih dari seribu aktivis ditangkap sejak Juli lalu. Mereka ditangkap karena meminta presiden Bashir mundur.
Ibrahim Ali, 70 tahun, mengatakan jelas saja masyarakat protes. Masyarakat ingin menjalankan ibadah puasa dan berlebaran dengan tenang tanpa terganggu kenaikan harga pangan. "Setiap hari kami harus berhemat. Karena setiap buka puasa, dibutuhkan £ 40," ungkapnya.
Sementara banyak ibu kota Arab pikuk dengan kehidupan setelah buka puasa sebagian besar jalan-jalan berdebu Khartoum yang sepi. Kafe terakhir di hotel terbesar di tepi sungai Nil Biru tutup pada tengah malam, saat kehidupan malam Ramadhan baru mulai sungguh-sungguh di Kairo.
Tertolong
Nafas lega mulai tampak dari wajah masyarkaat Sudan. Pemeritah Sudan dan Sudan Selatan telah mencapai kesepakatan soal minyak.
Berdasarkan perjanjian itu Sudan Selatan akan kembali melanjutkan eskpor minta melalui jaringan pipa utara dan memberikan kompensiasi sekitar 10 Dollar AS per barel. Sudan Selatan juga akan mentransfer 3 miliar Dolar AS selama tiga tahun atas hilangnya cadangan minyak.
Menteri Keuangan Sudan, Abdelrahman Dharar mengatakan pejanjian minyak akan menstabilkan ekonomi. Namun ekspor minyak akan dilanjutkan ketika kedua negara telah mencapai kesepakatan soal perbatasan. Para pengamat mengatakan butuh waktu bagi ekonomi Sudan untuk kembali pulih. Ini mengingat perusahan minyak butuh waktu untuk kembali produksi.
Setidaknya secara psikologis kesepakatan itu membuat Pound Sudan naik tipis terhadap Dollar AS di pasar gelap. Namun, kenaikan itu tak lama apabila uang minyak itu tak segera tiba. "Kami menderita banyak, kami mencoba untuk mengatasinya," papar El-Tayeb Ali, pekerja konstruksi yang kini menganggur. le