REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Untuk pertama kalinya, maskapai penerbangan TunisAir memutuskan untuk melarang penyajian alkohol dalam penerbangan selama Ramadhan. Hal tersebut dilakukan dalam upaya menghormati bulan suci Ramadhan. Larangan tersebut memicu protes aktivis liberal di Tunisa.
Para aktivis menuduh pemerintah memaksakan Islamisasi di negara itu. Para pemilik hotel dan agen perjalanan juga mengeluhkan dampak larangan tersebut. Mereka khawatir larangan penyajian alkohol dalam penerbangan selama Ramadhan akan berdampak buruk pada bisnis mereka yang menjaring wisatawan dari Eropa. Aktivis juga memprotes aksi penutupan kedai kopi di siang hari sebagai pelanggaran kebebasan pribadi.
General manager Kantor Pariwisata Nasional Tunisia, al-Habib Ammar, mengatakan jumlah wisatawan sebelum Ramadhan ini tengah mengalami peningkatan. Jumlah wisatawan yang menginap di hotel-hotel di sana bahkan meningkat hingga 100 persen pada bulan Juni.
Ia menambahkan, pariwisata di Tunisia tengah bangkit kembali, setelah revolusi yang menggulingkan rezin mantan presiden Zein al-Abedine bin Ali. "Kami berharap bahwa pariwisata akan lebih baik tahun ini, dibanding sebelum revolusi," ujar Ammar.
Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Khaled Taroush, menyampaikan bantahan soal perintah penutupan restoran dan food court di zona pariwisata. "Kami tak memerintahkan penutupan restoran dan kafe di daerah yang sering dikunjungi turis," kata dia, seperti dilansir Alarabiya.
Taroush juga membantah, peraturan terkait pelarangan-pelarangan selama Ramadhan terkait dengan pemerintahan baru yang dipimpin oleh partai Islam al-Nahda. "Selama bertahun-tahun, kementerian telah mengeluarkan dekrit bahwa semua kafe dan restoran harus ditutup selama bulan Ramadhan. Namun pengecualian untuk resto dan kafe di wilayah yang banyak turis asing," ujar Taroush.