REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Untuk urusan main sulap, umat Islam di Bali bukan ahlinya. Tapi pada saat bulan Ramadhan, mereka dipaksa untuk menyulap rumah tinggal warga agar bisa nyaman digunakan untuk shalat tarawih berjamaah.

Hal itulah yang secara rutin dari tahun ke tahun dilakukan umat Islam di sejumlah kompleks perumahan yang ada di wilayah Kota Denpasar.

Urusan shalat tarawih menggunakan rumah warga di ibukota Provinsi Bali itu sudah lumrah, karena rata-rata para pengembang tidak menyiapkan fasilitas umum berupa mushalla atau tempat ibadah bagi penghuninya.

Menurut Rudi, warga Perumahan Gajahwana, Denpasar Utara, karena tidak ada mushalla di kompleks perumahannya, mereka meminjam rumah salah seorang warga yang kebetulan tidak dihuni sebagai tempat untuk shalat tarawih. "Ya, ini sudah biasa kami lakukan," kata Rudi.

Pada hari pertama melaksanakan shalat tarawih, yang hadir kata Rudi, jumlahnya cukup lumayan. Akibatnya, rumah berukuran tipe 45 itu jadi penuh sesak. Tapi karena memang hanya itu fasilitas yang bisa digunakan, warga menerima keterbatasan itu apa adanya.

Lain halnya dengan warga di kompleks Perumahan Tegal Kori Kaja yang lebih beruntung bisa meminjam rumah dengan halaman lebih luas. Maka, di halaman rumah itulah mereka memilih lokasi untuk shalat tarawih berjamaah.

Menurut Ketua Warga Muslim Tegal Kori Kaja, Wisnu Puspita, pihaknya meminjam lahan itu kepada warga Muslim setempat dan menjadikannya untuk kegiatan tarawih setiap Ramadhan. Di luar bulan Ramadhan, rumah itu diizinkan pula oleh pemilknya untuk dijadikan tempat belajar membaca Alquran.

Selama ini, umat Islam di Bali terkendala memiliki tempat ibadah karena beberapa alasan, di antaranya soal status lahan dan kedua adalah soal izin mendirikan bangunan yang sulit diperoleh. Apalagi salah satu poin pengurusan izin menyebutkan harus adanya izin penyanding atau lingkungan dan umumnya hal itu yang menjadi masalah.