REPUBLIKA.CO.ID - Pagi menjelang siang, matahari mulai unjuk gigi dihadapan publik pelabuhan Merak. Tak lama, tepatnya, pukul 10.00 WIB, sayup-sayup terdengar suara lantang "klakson" kereta api pertanda si spoor lewat. Selanjutnya mulai beriringan para penumpang Kereta Api, Banten Ekspres dari Jakarta (Tanah Abang), turun di sebuah stasiun bernama Merak.
Ya, stasiun Merak namanya. Sebuah stasiun pemberhentian terakhir, rangkaian kereta api tujuan pelabuhan Merak, Banten. Berbeda dengan tetangga sebelah, pelabuhan Merak, euforianya jelas kalah pamor. Stasiun ini hanya kebagian sedikit berkah dari pesta rakyat tahunan saat Ramadhan, yakni mudik.
Bagi warga Jakarta dan kota sateltnya, Tangerang, rangkaian kereta Api tujuan Merak kurang akrab ditelinga kereta komuter tujuan Bekasi, Bogor atau Tangerang. Bahkan jauh kalah pamor ketimbang rangkaian kereta api tujuan Cikampek atau Purwakarta.
Namun, jangan salah. Rangkaian 7 gerbong kereta Api tujuan Merak, terdiri dari Banten Ekspres dan Patas Ekonomi, keduanya tujuan akhir Merak, menyimpan potensi besar untuk mengalihkan jalur transportasi jalan raya menuju Merak.
Sayang memang, potensi itu diserap habis oleh kehadiran bis reguler dengan beragam kelas, kendaraan pribadi yang nyaman dan aman, atau sepeda motor yang murah meriah. "Harus diakui, layanan kereta api tujuan Merak tidak menjadi favoritn" papar Wakil Kepala Stasiun yang juga Kepala Pengawas Perjalanan Kereta Api (PPAK) Merak, Suhermatono saat berbincang dengan republika.co.id, Sabtu, (27/8).
Stasiun ini, lahir tak lama dari operasional pelabuhan Merak. Fungsinya, sebagai penghubung antar daerah, utamanya Tangerang dan Jakarta. Diawal fungsinya sangat strategis, mengingatkan dengan fungsi pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Dalam perkembangannya, Ia merupakan sarana pengakut bahan pokok para juragan yang hendak menjualnya ke Sumatera atau Jawa. Tak heran, kereta api dari stasiun Merak yang sejatinya bertugas melayani penumpang malah menjadi sarana pengangkut dagangan khas pasar tradisional.
"Kalau pagi, tak terhitung pedagang membawa barang dagangannya. Biasanya gerbong paling akhir yang menjadi favorit," katanya.
Jelas saja menjadi favorit pedagang, sebab, dengan harga tiket Rp.4.000 (Patas ekonomi) dan Rp. 5.000 (Banten Ekspres), pedagang dengan leluasa memindahkan barang bawaan ke dalam gerbong berkapasitas seratus orang tersebut. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu, sebab tidak menganggu penumpang yang lain," kata Suhermantono.
Kekuasaan pedagang terhadap kereta api Merak memang tidak lama. Mereka beroperasi pada pagi hari, ketika turun dari kapal Ferry yang membawa mereka dari pelabuhan Bakaheni, Lampung. Sisanya, tiga waktu perjalanan kereta api, siang hari (11.00), Sore hari (15.00 dan 18.00 WIB), perjalanan menjadi milik para komuter yang hendak menuju Tangerang dan Jakarta.
Setiap perjalanan, ungkap Suhermantono, kereta api Banten Ekspress dan Patas Ekonomi mampu mengangkut 500 penumpang. Jumlah tersebut sedikit meningkat ketika arus mudik tiba. Memang jumlahnya tidak besar, mungkin hanya 10 persen dari total pemudik yang menuju pelabuhan Merak.
10 persen, bila dikalkulasi dari total pemudik, tentu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan seharusnya jalur kereta api bisa berperan menjadi feeder, dengan meminjam istilah bis reguler yang menghubungkan halte busway di ibukota Jakarta. Sayang, layanan jalur Merak, hanya terbatas di Tanah Abang (Jakarta) dan Serpong (Tangerang). Sudah begitu, layanan kereta Api Merak tidak mengenal eksekutif atau bisnis.
Masalah lain, penghubung stasiun dengan pelabuhan juga terbatas. Jangan bayangkan seperti Stasiun Priok atau stasiun Tanah Abang. Stasiun Merak miskin akses. Sekalipun ada itupun jalur sempit yang menyerupai gang-gang perumahan ibukota. Akses lain, jembatan yang melintas diatas pelabuhan Merak, itupun seolah tidak terpakai.
"Kami harus akui, keterbatasan akses menjadi masalah," ujarnya tersenyum.
Kelemahan lain, masyarakat yang menggunakan layanan kereta api membutuhkan waktu 5 jam, lebh lama dua jam lebih bila melalui akses tol. Namun durasinya mungkin sama dengan akses tol, apabila dalam kondisi padat seperti yang terjadi pada H-3 atau H-4. Tapi, yaitu tadi, kereta tidak mengenal istilah macet kecuali dalam kasus kereta anjlok atau lokomotif penarik gerbong ogah jalan lantaran masalah teknis.
Kusairi, warga Tangerang, yang ditemui republika.co.id, saat turun dari kereta Banten Ekspres dari Jakarta pukul 15.00 WIB, mengaku sangat terbantu dengan kehadiran kereta api. Ia berencana menuju Palembang, dengan mengambl jam penyeberangan malam harinya. "Murah mas, apalagi kalau sudah mendekati H-3, akses menuju Merak tentu bakal macet," kata dia.
Namun Kusairi mengeluhkan lamanya perjalanan. Walau ia sadar, dengan harga tiket Rp. 5.000, ia tak mungkin mengharapkan layanan cepat, aman dan nyaman."Yah, alih-alih cepat, sampai saja dengan selamat sudah syukur," kata Kusairi yang mengaku naik dari Kereta Api Banten, Ekspress via Stasiun Serpong.
Untuk itu, ia berharap ada perbaikan layanan. Utamanya, kecepatan perjalanan. Ia tidak mengharapkan layanan seperti eksekutif atau bisnis, tapi minimal cepat sampai tujuan. "5 jam kelamaan mas," katanya.
Kehadiran akses dan perbaikan layanan mungkin menjadi obat mujarab guna menarik minat masyarakat yang hendak menyeberang. Dengan demikian, konsentrasi kepadatan terbagi adl antara jalur jalan raya dan kereta api. Situasi itu secara otomatis menjadi solusi pereda teriakan bernada menghujat yang acapkali dialamatkan pada pengelola pelabuhan Merak, yakni PT. Angkutan Sungai, Danau dan Pelabuhan (ASDP) Indonesia Ferry, Cabang Merak, Banten.
Bisa jadi, rencana pengembangan fungsi stasiun Merak oleh Kementerian Perhubungan, menjadi sarana pengangkut barang dapat menghembuskan angn segar dari masa depan stasiun Merak. Dengan demikian, stasiun Merak tidak lagi terpinggirkan oleh mereka yang lebh memilih melalu akses tol atau jalan raya, bagi pengendara motor. Semoga saja.