Ramadhan di Paris (2): Rindu Suasana Masjid di Tanah Air

Red: Johar Arif

Jumat 26 Aug 2011 16:33 WIB

Paris Central Mosque, salah satu masjid di Paris Foto: biyokulule.com Paris Central Mosque, salah satu masjid di Paris

Sulit untuk dibayangkan bahwa pada akhirnya saya mampu melalui lima belas hari pertama bulan Ramadhan tahun ini. Tentu saja saya telah melakukannya berkali-kali sepanjang hampir 30 tahun, tetapi bagi saya masalahnya jadi berbeda ketika ritual suci ini mesti saya lalui jauh dari tanah air; di tempat yang tidak terdengar panggilan azan, beduk tanda berbuka puasa, kentongan sahur, ataupun di tempat yang tidak memiliki pasar Ramadhan.

Saya merindukan suasana tarawih dan tadarus yang menghidupkan masjid-masjid selama bulan suci Ramadhan. Bukannya di Paris tidak ada masjid, namun selain jumlahnya sangat sedikit, keberadaan masjid-masjid ini tidak kasat mata. Saya tidak sedang berbicara hal ghaib, memang masjid tidak termasuk bangunan yang mudah mendapatkan perizinan sehingga hanya berupa sebuah ruangan kecil atau tempat tertutup di dalam bangunan tertentu yang sengaja dikosongkan. Tidak ada kubah, tidak ada suara azan, dan umumnya hanya didatangi jema’ah pria.

Pada minggu kedua bulan puasa saya sempat diajak suami untuk sholat Jum’at di Masjid Raya Paris atau Grand Mosqué. Masjid raya merupakan satu-satunya masjid di dalam kota Paris yang benar-benar menyerupai masjid seutuhnya, dalam hal ini struktur sebuah masjid yang utuh. Meski boleh melantunkan azan, namun suara azan ini tidak sampai terdengar keluar dari dinding masjid yang luasnya mungkin hanya setengah lapangan sepak bola.

Selama sholat jum’at saya berada di shaf perempuan yang hanya sedikit di bagian belakang. Sementara jemaah pria berlimpah ruah di depannya, bahkan hingga mencapai bagian luar masjid. Fenomena jamaah yang sholat hingga mencapai jalan raya ternyata memancing reaksi pemerintah kota Paris dan diperdebatkan selama beberapa waktu di televisi nasional oleh sejumlah politisi, bahkan terselip dalam statemen menteri dalam negeri Prancis. Aturan pun ditetapkan dan penertiban pun dilakukan secara perlahan.

Entah merupakan bagian dari penertiban atau untuk tujuan lain yang tidak saya ketahui, seusai sholat Jum’at saya melihat sejumlah polisi nasional berjaga di jalan di depan pintu keluar masjid raya. Mereka berdiri di samping mobil patroli sambil mengawasi dengan seksama jemaah yang keluar dari pintu masjid.

Terlepas dari kejanggalan itu sholat Jumat tetap berlangsung khidmat dalam masjid yang bernuansa Maghribi ini. Namun saya dan suami sedikit kecewa karena khutbah yang diberikan khatib menggunakan bahasa Arab, bukan dalam bahasa Prancis.

Tak ada shalat tarawih di Masjid Raya

Kenyataan lain yang mengecewakan adalah tidak adanya penyelanggaraan sholat tarwih. Setelah sholat isya sepertinya masjid pun ditutup. “C’est fermé depuis longtemps” (sudah tutup sejak tadi) menurut seorang pria tua afrika yang kami temui saat berkunjung ke masjid setelah buka puasa.

Masjid kelihatan sepi. Seorang pria muda berwajah Arab mencoba mendorong pintu depan yang terkunci, ia pun berlalu setelah sempat meludahi pintu tersebut dengan marah. Saya kaget melihat hal tersebut. Belum pernah seumur hidup di tanah air saya melihat orang meludahi rumah ibadah. Peristiwa ini membuat saya teringat kepada ucapan seorang teman imigran dari salah satu negara bekas jajahan Prancis di Afrika:  “Ketika kamu pindah ke Prancis, kamu tidak membawa agamamu seutuhnya. Ini metropolitan, tempat yang berbeda dengan negerimu. Hiduplah seperti mereka.”

Dengan kata lain, kita bisa berbuat sesuka hati karena jauh dari negeri asal bahkan terhadap hal-hal yang dianggap bertentangan secara religi. “Banyak Muslim di sini yang mentalitasnya tidak lagi baik,” menurut teman suami saya yang juga seorang imigran dari Maghribi.

Bagi saya ini adalah masalah prinsip. Namun sejauh yang saya ketahui, bagi kebanyakan generasi muda imigran yang lahir atau dibesarkan di Prancis, agama hanya merupakan tradisi. Mereka beradaptasi dengan cepat dengan cara hidup Eropa dan bahkan cenderung berlebihan dari sisi gaya hidup, mengingat umumnya orang tua atau keluarga mereka justru merupakan kalangan kurang mampu.

Dari sebuah acara radio saya mendengar bagaimana beberapa anak muda ini menyikapi puasa hanya sebagai sebuah tradisi yang dilakukan orang tua mereka, sehingga mereka menolak untuk ikut serta.

Jangan berkerudung di tempat kerja

Tidak hanya itu, perempuan Muslim pun sudah mulai berpikir dua kali untuk berkerudung demi mengikuti tuntutan tempat kerja yang melarang semua manifestasi tanda-tanda keagamaan. Suatu kali ketika saya tengah berbelanja di sebuah supermarket di sekitar distrik 17éme seorang kasir perempuan Maghribi tiba-tiba bertanya pada saya. “Apakah anda orang Asia?” tanyanya. “Ya, Indonesia”, ujar saya singkat. Kemudian ia tersenyum sambil berkata “Ah, Indonesia, oleh karena itu anda berkerudung. Tapi saya tidak banyak bertemu perempuan seperti anda yang berkerudung. Umumnya tidak,” katanya. Saya pun segera menjelaskan bahwa di Asia hanya Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan bukan pula merupakan sebuah negara Muslim yang mewajibkan perempuan untuk berkerudung seperti negara Islam lainnya.

Ia kelihatan bingung sambil berkata perlahan bahwa dia sebenarnya juga ingin memakai kerudung namun tidak bisa karena tuntutan tempat kerja. “Saya mesti bekerja untuk hidup sehari-hari.” Istri seorang sahabat suami saya yang berkebangsaan Maroko juga berkata yang sama. “Kalau kita ingin bisa bekerja dengan layak di sini, sebaiknya jangan pakai kerudung. Saya hanya pakai kalau di rumah dan di luar tempat kerja.”

Sekali lagi, bagi saya itu adalah masalah prinsip perorangan yang tidak perlu untuk diperdebatkan. Namun, kalau dipikir-pikir saya baru menyadari kalau saya baru melihat satu atau dua orang perempuan Indonesia yang berkerudung sejauh ini di Paris, dan saya tidak tahu apakah mereka menetap di Paris atau hanya sekedar berkunjung. Hal ini mengingatkan saya kepada seorang dosen saya di Bandung yang mengajar aliran-aliran pemikiran dalam ilmu komunikasi. Salah satu aliran tersebut, yakni behaviorisme menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungannya dan manusia tak kuasa menolak sehingga menyesuaikan diri mengikuti tuntutan lingkungannya tersebut. Meski saya bukan seorang behavioristik, namun saya sepakat dengan ide tersebut dalam hal ini.

                                         

Trisellia Rinelty

Paris, 75017

______________________________

Kirimkan kisah berpuasa di mancanegara ke [email protected]

Terpopuler