Farah Pandith:Tak Sulit Mendapatkan Informasi Ramadhan di AS

Rep: C27/ Red: taufik rachman

Sabtu 20 Aug 2011 19:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Farah Pandith, Utusan khusus Menlu AS untuk komunitas muslim, mengaku menjalankan Ramadhan di AS sama dengan di Indonesia. Ketika bertandang ke Indonesia, Selasa (9/8), ia menjelaskan “Umat Muslim di AS memang hanya satu atau dua persen. Mereka berasal dari berbagai bangsa, namun dinamika Ramadhan cukup terasa.”

Wanita yang menganut agama islam ini mengatakan di AS jumlah muslim memang sedikit dan terbilang majemuk. Namun, mereka tetap taat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Warga Amerika menghargai kebebasan dan keragaman sehingga disana terdapat banyak sekali agama termasuk aliran-aliran islam.

Hal itu pula lah yang menyebabkan beragam budaya yang terjadi selama Ramadhan. “Saat melakukan shalat, sebelah kanan kita bisa jadi orang Turki dan sebelah kita orang Spanyol,” ujarnya. Setiap negara memiliki kebiasaan masing-masing, namun umumnya berbuka puasa dengan makan kurma, imbuh wanita kelahiran India ini.

“Terbilang mudah untuk mencari informasi seputar puasa saat di Amerika,” ujarnya. Banyak website yang bisa membantu mencari mengenai Islamic Center terdekat, jadwal puasa, bahkan komunitas-komunitas muslim di kota tempat tinggal di Amerika.

“Sifat undang-undang dasar AS menjamin kebebasan setiap warga negaranya,” jelasnya. Itu termasuk kebebasan menjalankan agama masing-masing. Sebagai hasilnya, AS menjadi negara yang paling bebas untuk menjalankan ajaran agama walaupun dalam pemerintahan negara dan agama adalah hal yang terpisah.

AS dan Islam, jelasnya, memiliki sejarah panjang. Presiden Thomas Jefferson dan Presiden John Quincy Adams pernah berbuka puasa dengan duta besar Tunisia.  Presiden Dwight Eisenhower pernah memberikan sebidang tanah untuk penduduk Muslim Washington DC karena tidak memiliki masjid. Sekarang, di atas tanah itu berdiri Islamic Center Washington DC.

Disela-sela kesibukannya, wanita muslimah ini mengaku tidak memiliki kehidupan yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. “Delapan puluh persen waktu saya dihabiskan di luar negeri untuk pekerjaan ini,” ujarnya.  Ketika ia Washington, ia menghabiskan waktunya di  Departemen negara. “Saya hidup di keluarga yang menomorsatukan keluarga,” jelasnya.  Wanita yang belum menikah ini mengaku dekat dengan ibu dan kakaknya. Namun ia memberikan waktu lebih banyak untuk pekerjaan daripada untuk kehidupan pribadinya..

Sebagai wanita yang menjabat posisi tinggi, ia tidak takut direndahkan. “Selama kita professional dan memiliki kemampuan untuk bekerja dan memiliki reputasi yang bagus, mereka tidak akan melihat jenis kelamin kita,” tuturnya. Dulu, ia bersekolah di tempat khusus wanita. Kepemimpinan dan keaktifan menjadi hal yang utama di sekolahnya, ujar Farah.

Menjawab kritikan mengenai norma kesopanan, ia berkata semua harus menghormati budaya tetapi juga harus menjadi diri sendiri. Ia tinggal dan mengenal Islam di Amerika. Ia juga mengerti segala norma sosial yang harus dipatuhi. Berkerudung merupakan pilihan pribadi. “Ketika saya di mesjid, saya pasti menutup kepala saya. Tetapi ada pula pertemuan-pertemuan yang saya hadiri dengan memakai baju kebarat-baratan,” jelasnya.

Terpopuler