Chotibul Umam: Ramadhan tak Bisa Dibeli, Rutinitas tak Boleh Ganggu Kekhusyukan Berpuasa

Rep: Agung Sasongko/ Red: Krisman Purwoko

Rabu 03 Aug 2011 04:59 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sesibuk apapun rutinitas setiap Muslim, jangan sampai menganggu kekhusyukan menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Sebab, ibadah puasa merupakan ajakan kepada mereka yang beriman guna memperlihatkan sejauhmana tingkatan keimanan seorang Muslim.

Demikian diungkapkan pemandu wisata, Chotibul Umam, kepada republika.co.id, saat dihubungi via sambungan telepon, Selasa (2/8). "Apapun rutinitasnya, kewajiban puasa harus jalan terus".

Sebagai seorang profesional dalam urusan memandu wisatawan, Chotibul dituntut siap untuk menemani wisatawan kendati tengah menjalani ibadah puasa. Ia berkeyakinan, seberapun berat pekerjaannya, ia harus berpuasa. Sebab, meninggalkan puasa jauh lebih berat ketimbang apapun.

"Saya menyadari, pekerjaan saya begitu menguras tenaga, tapi saya tidak mau pahala saya terkuras lantaran pekerjaan," kata dia yang domisili di Serang, Banten.

Awal Ramadhan saja, Chotibul mengaku mendapatkan tawaran untuk memandu wisatawan menuju Taman Nasional Ujung Kulon. Namun, rezeki yang datang ia tampik. Alasannya, kondisi fisiknya tidak memungkinkan ia menemani wisatawan untuk jarak yang lumayan jauh. "Saya dilema, tapi akhirnya saya memprioritaskan ibadah, karena takut ditengah jalan bakal berbuka," kata dia.

Bagi Chotibul, rezeki yang didapat tidak sebanding dengan pahala yang berisiko hilang. Menurutnya, tak  mustahil ia tidak lagi bertemu dengan bulan suci Ramadhan tahun depan. "Daripada saya tidak tenang lebih baik tinggalkan saja. Ramadhan kan tidak bisa dibeli," tuturnya.

 Ia juga menyadari, Ramadhan sebaiknya diproritaskan. Sebab, puasa merupakan sarana introspeksi bagi seorang Muslim. Apakah sudah menjadi Muslim yang kaffah atau belum. Itu terlihat betul saat berpuasa. "Saya bukan seorang yang tahu agama secara mendalam, tapi pemahaman saya bahwa Ramadhan merupakan sarana mendidik keimanan seorang Muslim," kata dia.

Pendidikan itu terlihat dari beragam tantangan yang harus dihadapi seorang Muslim saat berpuasa. Contoh  sederhana, yaitu tadi pengalaman dirinya saat berpuasa dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemandu wisata. Ia tidak bermaksud merasa "benar" tapi itulah kenyataannya.

Ia menyadari tantangan lainnya berasal dari lingkungan sekitar. Belum lagi, kehadiran teknologi yang membuat kebenaran dan dosa begitu tipis. Menurut dia, masyarakat membutuhkan dukungan media melalui suasana kondusif melalui program tayangan mendidik. "Teknologi mengubah semuanya," kata dia.

Namun, ia tidak bermaksud mengatakan sebagian Muslim yang mengabaikan ibadah puasa lantaran ia tidak memiliki kemantapan iman guna menghadapi tantangan yang ada. Menurutnya, banyak faktor yang turut berpengaruh. "Bisa saja, fisik terlalu lelah, kondisi pekerjaan terlalu berat. Yaitu tadi, agama adalah wilayah privasi seseorang," kata dia.

Dikatakan Chotibul, kunci untuk menghadapi tantangan itu berawal dari bagaimana seorang Muslim berusaha untuk menghindari hal-hal negatif. Menurutnya, cara itu sangat efektif. "Tidak perlu lakukan yang aneh-aneh, cukup menghindari hal-hal negatif, insya Allah bisa," kata dia.

Ketika sudah menghindari hal-hal negatif, selanjutnya akan melahirkan Muslim yang shaleh secara sosial. Ketika kesalehan tercipta, masyarakat akan terpengaruh. "Saya kira hikmah berpuasa bagi seorang Muslim  menciptakan kesalehan individu dan sosial," kata dia.

Bersama Keluarga

Berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan hal yang paling dinanti. Bukan lantaran menu berbuka dan sahur yang lebih lengkap dan penuh gizi, namun karena faktor kedekatan dengan keluarga. Berpuasa itu, menurut Chotibul, merupakan momentum mendekatkan diri dengan keluarga. Sebuah memontum yang sulit untuk dilakukan di 11 bulan sebelumnya."Hal yang paling sayang tunggu saat ramadhan datang adalah menjalin keakraban bersama keluarga," kata dia.

Selain kedekatan berkeluarga, nilai silaturahmi dalam berpuasa begitu luar biasa. Ia pun tertarik untuk turut serta dalam tarawih keliling yang menjadi tradisi di daerahnya. Tradisi itu, menurut dia, membuat dekat dengan para ahli agama yang selanjutnya akan menambah ilmu, iman dan takwa."Pasti ada yang baru dari mereka," kata dia.

Demikian pula dengan tradisi tadarus, kendati belum maksimal dalam bertadarus, momentum puasa merupakan kesempatan baginya untuk mengakrabkan diri dengan Alquran. "Soal tadarus masih jadi pekerjaan rumah buat saya. Lagi-lagi soal konsitensi saja," kata dia.

Chotibul mengatakan persoalan konsitensi merupakan masalah akut yang menimpa setiap Muslim. Mungkin saja, bulan puasa dijalankan secara sempurna. Namun, tidak menjamin 11 bulan berikutnya bakal demikian. "Ya, lagi-lagi masalah konsistensi ini kembali pada masing-masing pribadi saja," pungkas dia. 

 

Terpopuler