Puasa untuk Orang Sakit dan Musafir (2-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Hafidz Muftisany

Rabu 18 Jul 2012 16:49 WIB

Musafir (ilustrasi) Musafir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Sementara untuk golongan musafir, para ulama juga terbelah menjadi tiga pendapat dalam memandang status puasa selama dalam perjalanan.

Pertama, puasa lebih baik daripada tidak berpuasa. Ini adalah pendapat mazhab Syafi'i, Maliki, Abu Hanifah, Tsauri, Abu Yusuf.

Kedua, lebih baik tidak berpuasa. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Musayyab, Asy-Sya'bi, Al-Auza'i, Ahmad, dan Ishaq.

Ketiga, memilih yang paling mudah dan aman, karena yang terbaik bagi masing-masing individu adalah yang termudah di antara keduanya. Pendapat ini berpijak pada ayat Alquran yang mengatakan, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."

Ibnu Abbas mengatakan, "Nabi saw berpuasa dan berbuka (dalam perjalanan), jadi barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah, dan barang siapa yang ingin berbuka, maka berbukalah."

Diriwayatkan dari A'isyah, bahwasanya Hamzah bin Umar al-Aslami pernah bertanya pada Nabi SAW, "Apakah saya harus berpuasa ketika dalam perjalanan?" Nabi saw menjawab, "Jika mau, silakan berpuasa, dan jika mau, silakan tidak berjmasa (berbuka)."

Hal serupa juga terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Qazah yang mengatakan, "Saya mendatangi Abu Sa'id al- Khudri untuk menanyakan tentang puasa dalam perjalanan. Dia menjawab, "Kami pernah melakukan perjalanan dengan Rasulullah SAW menuju Makkah, dan ketika itu kami puasa."

Kami lalu singgah dan menginap di suatu tempat. Rasulullah lantas berkata, "Kalian telah dekat dari musuh, dan berbuka (tidak puasa) lebih kuat untuk kalian". Ini adalah rukhshah (keringanan). Di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada juga yang berbuka.

Kemudian kami singgah di tempat lain, dan Rasulullah pun bersabda, "Besok pagi kalian akan menghadapi musuh kalian, dan berbuka lebih kuat untuk kalian, maka berbukalah." Ini adalah 'azmah, maka kami pun berbuka. Qaz'ah melanjutkan, "Sejak saat itu, saya lihat kami berpuasa bersama Rasulullah dalam perjalanan."

Ibnu al-Jauzi menegaskan, "Sakit dan bepergian yang membolehkan tidak berpuasa tidak bersifat mutlak (mencakup sakit dan bepergian apa saja). Akan tetapi, jika puasa tidak sampai menimbulkan bahaya bagi si sakit maka ia tidak boleh berbuka. Keringanan tergantung dan mengacu pada pada semakin parahnya sakit akibat berpuasa."