Catatan Ramadhan dari Canberra: Menyelami Kontekstualitas Islam

Red: Heri Ruslan

Ahad 05 Aug 2012 17:42 WIB

Masjid Canberra, satu-satunya masjid yang berada di ibu kota Australia Foto: DHERDIAN.WORDPRESS.COM Masjid Canberra, satu-satunya masjid yang berada di ibu kota Australia

REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan jadi momentum untuk meningkatkan amal ibadah? Hampir semua umat Islam sudah mafhum soal itu. Namun bagi muslim Indonesia di Canberra Ramadhan bukan hanya momentum untuk memperbanyak amal ibadah, namun juga merupakan saat yang tepat untuk memperdalam ilmu.

Yang dimaksud dengan ilmu pun bukan hanya ilmu agama dalam artian sebatas Fiqh-Ibadah, Tauhid dll. Namun juga bagaimana ilmu-ilmu berdialog dengan Islam untuk menjawab tantangan persoalan yang tengah dihadapi manusia.

Momentum inilah yang menurut Ketua PHBI Canberra, Nur Cahyono, harus dimanfaatkan dengan baik. “Karena itu kami mengadakan kegiatan Pengajian Ba’da Dzuhur, dan tahun ini merupakan tahun kedua, setelah tahun sebelumnya mendapat sambutan hangat”, ujarnya yang diamini oleh Wakil Ketua PHBI Canberra, Gatot Subroto.  Menurutnya, peserta tidak banyak, mungkin hanya puluhan saja. Tapi jumlah itu bisa berlipat-lipat bila ilmu yang didapat kemudian ditularkan ke orang lain.

Berlokasi di Balai Kartini KBRI Canberra, puluhan muslim dan muslimah yang didominasi staf KBRI Canberra, menjalankan shalat dzuhur berjamaah dan berdzikir, kemudian mereka duduk bersila melingkar dan m

endengarkan pengajian. Seusai pengajian singkat, acara pun dilanjut dengan tanya-jawab yang biasanya baru selesai di ujung waktu istirahat kerja, sekitar jam 02.00. “Selama Ramadhan kami menyelenggarakan ini setiap hari (Senin-Kamis) kecuali Hari Jumat, karena Hari Jumat waktu istirahat digunakan untuk shalat Jumat di masjid”, lanjut Nunung, sapaan akrab Nur Cahyono.

Agar Islam Lebih Membumi dan Hidup

Sementara itu, Ketua Panitia Amaliah Ramadhan 1433 Canberra, Samsul Ma’arif Mujiharto, menuturkan tahun ini materi pengajian dibagi menjadi 3 (tiga) klaster yang terdistribusi dalam empat pekan selama Ramadhan. “Kami membuat semacam silabus lah. Ketiga klaster tersebut adalah klaster ibadah dan puasa, klaster tasawuf dan pemikiran Islam serta klaster Islam dan isu kontemporer”, kata dia. 

Pada klaster ibadah dan puasa dibahas kisah dan dalil perintah puasa, fiqh dan etika puasa, puasa dan ketaqwaan hingga tanda-tanda keberhasilan puasa. Sementara di klaster tasawuf dan pemikiran Islam dibahas topik-topik semisal sejarah dan perkembangan tafsir Qur’an, makna memaafkan dalam Islam, konsep keseimbangan hidup dalam Islam hingga topik faktor Islam dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Sedangkan Islam dan isu kontemporer dibahas di klaster ketiga.

“Pada klaster ini, jamaah pengajian diajak mendialogkan Islam dengan persoalan yang dihadapi manusia. Mulai dari isu overpopulasi, kewirausahaan, penegakan hukum, ekonomika kebahagiaan, tata-kelola pemerintahan (good governance), isu lingkungan hingga isu perempuan dibahas di klaster ini.

“Karena itu kami mengundang para ahli dan mahasiswa pascasarjana baik jenjang master maupun doktoral di sekitar Canberra untuk menyampaikan materi yang disesuaikan dengan kepakaran mereka. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa di ANU (Australian National University), UC (University of Canberra) dan UNSW (University of New South Wales) Canberra”, terang mahasiswa Charles Sturt University ini. Selain itu, ada pula yang dari kalangan staf KBRI dan pasangan mahasiswa Indonesia yang salah satunya mahasiswa Umm al-Qura University Makkah, Saudi Arabia. 

Menurutnya, masing-masing klaster sebenarnya saling berhubungan dan kalau dibaca secara utuh (dari awal hingga akhir), jamaah seperti membaca buku antologi yang isinya bermacam topik tapi diikat dengan topik besar yang memayungi topik-topik tersebut. Harapannya, lanjut dia, pengajian model ini bermanfaat bagi jamaah dan penceramah sekaligus. Bagi jamaah, mereka tidak hanya mendalami aspek ibadah dari puasa tapi juga aspek-aspek Islam yang berhubungan dengan pemikiran Islam dan bagaimana Islam merespons isu kontemporer.

Dengan begitu, ketika mengikuti pengajian ini, jamaah tidak hanya memperoleh dimensi normatif Islam saja, tapi juga memperoleh perspektif Islam dalam melihat persoalan kontemporer. Sementara bagi penceramah, setidaknya mereka lebih tertantang untuk selalu mendialogkan ilmu yang digelutinya bukan hanya dengan persoalan masyarakat, tapi juga dengan Islam. “Saya berharap dengan model seperti ini Islam menjadi lebih kaya, membumi dan bukan hanya relevan tapi juga responsif terhadap persoalan yang dihadapi manusia. Ujungnya, Islam pun menjadi agama yang hidup”, pungkasnya.