Ramadhan di Vermont, AS: Waktu Berbuka Disiarkan Melalui Internet

Red: Siwi Tri Puji B

Kamis 11 Aug 2011 16:01 WIB

Muslim Vermont menggelar shalat Tarawih bersama Foto: . Muslim Vermont menggelar shalat Tarawih bersama

REPUBLIKA.CO.ID, VERMONT - Kamis malam, 20:14. Taysir Al-Khatib duduk diam di meja ruang makan dengan istrinya, Deborah.

Dua menit kemudian, bel panjang berdentang dari komputernya. Mulutnya berkomat-kamit membaca doa. Al-Khatib segera minum dari gelas air, kemudian berjalan ke dapur untuk melayani dirinya berbuka puasa, dengan makanan yang telah disiapkan istrinya.

Bagi umat Islam di daerah Burlington, Amerika Serikat, suara adzan tak bakal terdengar. Menandai berbuka, mereka sepakat membunyikan bel diikuti adzan, yang telah di-set di situs tertentu.

Begitu juga saat terbit fajar. "Saya akan mengatur alarm di komputer saya," ujar Khatib.  "Di Timur Tengah, mereka sering akan menembak meriam saat senja."

Hal yang sama dialami Kamaro Abubakar. Asisten direktur di University of Vermont ini berpuasa sendirian. Penanda adzan dan imsak di situs internet, sangat membantunya.

"Selama Ramadhan, Anda mengorbankan tubuh Anda kepada Allah," kata Abubakar. Inilah saatnya untuk selama sebulan kembali mendekat pada Yang Maha Pencipta. Karena itu, banyak Muslim menghindari menonton televisi selama bulan Ramadhan, kata Abubakar.

Abubakar berbuka puasa dengan air minum terlebih dahulu, kemudian makan buah, diikuti dengan makan besar 30 menit kemudian.

Di Essex Junction, meskipun makanan tradisional Timur Tengah mudah ditemui selama bulan Ramadhan. Sesekali, Al-Khatib yang berasal dari Timur Tengah berbuka dengan ayam dan nasi kebuli. Namun, itupun tak harus. "Lidah saya sudah mengalami Amerikanisasi," Taysir Al-Khatib bercanda.

"Beberapa malam saya akan membuat makanan yang lebih tradisional, seperti daun anggur diisi dengan daging dan nasi," kata Deborah Al-Khatib, istrinya.

Selama Ramadan, umat Islam membaca Alquran setiap malam; ini memungkinkan jamaah untuk mengkhatamkan Alquran saat Ramadhan berakhir.

"Kebanyakan orang tidak tahu apa Ramadhan," katanya. Seringkali, teman sekantornya mengundangnya makan siang, saat ia berpuasa.

Debora Al-Khatib, yang dibesarkan secara Katolik dan menjadi Muslim setelah menikah, mengatakan dia tahu sedikit tentang tradisi Muslim sebelum ia berumah tangga 23 tahun yang lalu dengan Taysir. "Saya punya banyak praduga tentang Islam yang ternyata salah," katanya.

Al-Khatib  melihat Ramadhan sebagai kesempatan untuk menginformasikan orang lain tentang budaya Muslim. "Kami selalu mencari cara untuk mendidik orang-orang bahwa Muslim sejati adalah cinta damai,," kata Deborah Al-Khatib.

Taysir Al-Khatib adalah dai relawan di kalangan masyarakat, yang berbasis di Colchester. "Ini berbeda dari seorang imam, yang harus melalui pelatihan formal," katanya.

Jumlah Muslim di kota itu sekitar  2.000 orang. "Kebanyakan anggota kami adalah dari Somalia, Bosnia, Timur Tengah," kata Al-Khatib. "Kami multikultural."