REPUBLIKA.CO.ID,BELANDA -- Belanda adalah negeri yang tidak cukup toleran. Sebagai kaum minoritas, umat Islam di Belanda menyadari tak bisa banyak menuntut untuk didirikan masjid sebagai tempat beribadah.
Merekapun harus rela menikmati ramadhan tanpa adanya adzan sebagai penanda berbuka atau shalat. Warga muslimpun harus bersabar, di tengah-tengah beribadah puasa harus diselingi dengan kafe yang tetap buka di siang hari, atau muda-mudi yang bemesraan di depan umum.
Di sepanjang bulan Ramadhan, sesama warga muslim merasakan semangat toleransi, kelembutan dan persatuan yang melampaui perbedaan warna kulit, ras maupun suku.. Komunitas Muslim di Belanda saat ini 1,219,753 , sebagian tersebar di Amsterdam, Rotterdam, The Hague dan Utrecht. Komunitas muslim sebagian besar terdiri dari para pekerja, imigran dari Turki dan Maroko.
Di negeri empat musim seperti di Belanda, panjangnya waktu siang dan malam mengalami perubahan dari bulan kebulan yang mengikuti pergantian musim. Di musim panas, waktu siang menjadi lebih panjang dan malam sangat singkat. Sebaliknya di musim dingin, waktu siang justru menjadi lebih pendek dan matahari terbenam lebih awal. Kondisi ini tentu saja dapat mempengaruhi waktu berpuasa.
Oleh karena itulah, berpuasa di musim panas, musim gugur, musim semi dan musim dingin, sangat berbeda waktu imsak dan waktu berbukanya. Saat ini informasi mengenai waktu imsak dan berbuka puasa dapat dengan mudah diketahui melalui situs web organisasi Islam.
Bulan puasa tahun ini di Belanda jatuh pada musim panas. Menurut Khoirul George Muishout, warga Belanda asli yang menikah dengan wanita asal Lombok, ia berpuasa selama 17 jam. Dari 03.30 sampai 21.15. Sholat isya jam 23.30. “Kalau sudah niat berpuasa berapapun jamnya sama saja. Entah 14 jam, 15 jam atau 16 jam puasa per hari, ya tetap dijalani, ujarnya.
“Masyarakat muslim di Belanda merupakan minoritas. Puasa menjadi tindakan individul yang tidak mencolok. Tak ada golongan sosial yang puasa kecuali atas kemauan sendiri”. Puasa di Belanda dinikmati tanpa beduk Maghrib bertalu. Tanpa kegaduhan orang-orang yang membangunkan untuk sahur. Juga, tanpa pemandangan gerombolan manusia menuju masjid yang hendak melaksanakan shalat tarawih.
Hal serupa diungkapkan oleh Taufiq al Makmun. Warga negara Indonesia, dosen Universitas 11 Maret di Solo bidang Kajian Amerikanistik sedang riset di Universitas Utrecht sejak musim panas tahun lalu. “Yang cukup membedakan antara puasa di Belanda dan puasa di Indonesia yaitu terkait dengan suasana. Di Belanda tidak ada panggilan saur maupun suara adzan untuk berbuka puasa”, ungkapnya.
Bagi yang tidak kuat berpuasa, orang muslim di Belanda ada pula yang melakukan qada. Mereka tidak berpuasa sekarang, karena harinya terlalu panjang, tapi mengqadanya nanti pada saat hari lebih pendek, misalnya di musim dingin atau di awal musim semi dan di penghujung musim gugur.