REPUBLIKA.CO.ID, Hal pertama yang terpikir di benak setiap Muslim tentang Ramadhan adalah perasaan suka cita. Muslim menunggu hilal dengan antusias sebagai tanda awal periode yang diberkahi tersebut. Saat hilal muncul lagi satu bulan kemudian, Muslim pun dengan haru melepas Ramadhan.
Setelah menjadi Muslim, Sariya Islam, kerap ditanyai pula bagaimana rasanya berpuasa saat Ramadhan. Mengapa ia melakukan itu? Apakah sulit? Apakah itu spiritual?
Wanita berdarah India itu memeluk Islam 15 tahun lalu. Ia pun mengaku pertanyaan tadi sulit dijawab. "Dalam banyak hal malah saya tak memiliki jawabannya." ujar doktor dalam kajian Wanita Muslim dan Integrasi ini
Kini setelah belasan tahun sejak ia pertama mengucap Syahadat, ia berani memanggil dirinya seorang 'Muslim yang terlatih'. "Pengetahuan dan pemahaman tentang Islam adalah proses yang terus berjalan tanpa henti," ujarnya.
Ia melihat setiap langkah akan membuka pandangan baru tentang sebuah pemahaman. "Paling tidak saya tahu sedikit lebih banyak ketimbang 15 tahun lalu." ujarnya.
Sariya mengaku, Ramadhan pertamanya cukup sulit. Setelah mengawali dengan beberapa kesalahan termasuk tak mampu bangun untuk makan sahur ia berhasil menjaga Ramadhan berpuasa terus kecuali ketika datang bulang. "Itu sebuah prestasi bagi saya,"
Pengalaman itu tak pernah ia jumpai sebelumnya. "Untuk kali pertama saya menyadari nilai banyak hal yang selama ini saya anggap biasa. "Saya mengenali tekstur lembut air untuk pertama kali ketika saya begitu haus. Sedikit berpuasa ternyata mampu membuat empati terhadap mereka yang lapar, haus dan hidup dalam kemiskinan,"
Ia juga memahami kekuatan imannya dan juga iman yang dimiliki milyaran Muslim di penjuru dunia. "Mereka berpuasa semata-mata karena diperintahkan oleh Allah. Subhanallah...Muslim yang berpuasa benar-benar tidak makan dan minum apa pun selama tengah hari saat Ramadhan, bahkan tidak pula air," ungkapnya takjub.
Sariya juga mengamati seorang Muslim yang menjalankan puasa dapat merasa lapar, haus dan letih. Tapi lagi-lagi yang membuat ia takjub, mereka tetap bekerja seperti biasa dan menyelesaikan pekerjaan pula. "Jadwal tak terganggu dan kehidupan berjalan seperti biasa, semua normal, tanpa kehadiran makan dan minum."
Jadi mengapa Muslim berpuasa di seluruh hari pada Ramadhan? Kembali dihadapkan pada pertanyaan tersebut, kini Sariya paling tidak memiliki jawaban. "Kita berpuasa karena Allah memerintahkan kita."
"Ini adalah alasan yang luar biasa indah, sebuah keyakinan dan kepercayaan yang datang langsung dari Allah yang Maha Esa, rasa cinta dan kepercayaan yang tak bisa diukur dan diraba tapi ada, dan hanya kepada Allah."
Contoh paling nyata ketulusan mereka, yang diamati oleh Sariya adalah saat berwudhu, atau ketika seorang Muslim sendiri. "Saya selalu menegaskan ini berulang kali, siapa yang tahu seorang Muslim sembunyi-sembunyi menggigit makanan sambil berpura-pura puasa? Tapi kami berhenti, benar-benar tidak memasukkan apa pun ke dalam mulut," ujarnya.
"Lantas siapa yang menghentikan kami dan milyaran Muslim lain dari meneguk air yang kami buat berkumur ketika wudhu?," ujarnya. "Sebaliknya yang saya lihat mereka justr mencoba menghapus dan menghilangkan bahkan setetespun air dari mulut setelah berwudhu," kata Sariya.
Sariya masih ingat bertemu seorang gadis Muslim yang cemas saat turun hujan kala Ramadhan. "Ia takut tetesan air hujan membasahi bibirnya. Sebagai temannya saya pun tersenyum sendiri, namun itu juga membuat saya berpikir. Betapa banyaknya Muslim seperti dia yang sungguh-sungguh melakukan puasa dengan ketulusan,"
Namun saat digali lagi, Sariya mengaku jawaban mengenai pertanyaan seputar puasa jauh lebih dalam dari yang ia ketahui di awal-awal memeluk Islam. "Saya setuju ada banyak kajian mengenai manfaat kesehatan dalam berpuasa, namun bagi saya keimananlah yang menginspirasi puasa."
Bagi Sariya berpuasa tak sekedar kewajiban individu. "Alih-alih ini adalah perayaan seluruh umat secara spiritual," ujarnya.
Bila seseorang menyadari dan memahami kemampuannya untuk menahan nafsu sederhana, keinginan untuk makan, kata Sariya, maka efeknya luar biasa. "Bila ini bisa dilakukan, ketamakan akan kekuasaan, ketenaran dan semua yan serupa sebenarnya bisa diatasi. Namun itu bukan akhir tujuan yang bisa dicapai," ujarnya.
Namun, bukan berarti Sariya menyeru pada anti kekuasaan dan makanan. "Pada kajian lebih mendalam ada pesan bijak mengenai kekuasaan dan kesejahteraan. Lagi pula kepatuhan kadang tak bisa dipertanyakan karena kita tak pernah bakal menjadi Tuhan, yang pasti kita adalah manusia," ujarnya.
Ia menuturkan puasa telah mengajarinya bersikap seimbang, ditengah, tak berlebihan dan moderat. "Dengan keseimbangan datanglah tanggung jawab. Makanan adalah nutrisi yang baik, namun menjadi buruk ketika menghasilkan obesitas. Kekuatan dan kekuasaan bisa menghancurkan, namun kekuatan bisa menciptakan tanggung jawab pengasuhan dan pengelolaan bila dipegang dengan benar," ujarnya.
"Ramadhan sungguh memberi kita kesempatan untuk mempelajari ilmu yang sulit mengenai bagaimana seimbang dan moderat secara bersamaan, secara kolektif, sebagai umat, mereka yang berserah diri tanpa syarat hanya kepada Allah."