REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tak dipungkiri, modernisme telah menggerus lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibawakan oleh tahfidz atau penghapal Alquran di masjid-masjid. Posisinya telah diganti oleh teknologi seperti kaset atau compact disc (CD).
"Kita ini seharusnya merindukan suasana religius di kampung-kampung yang begitu lantang terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran. Sekarang ini tidak adalagi, sekalipun ada rasanya aneh," papar Kepala Bidang Pembinaan Mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), kepada Republika.co.id, Rabu (10/8).
Dikatakan Anwar, kondisi itu tampak jelas selama Ramadhan. Pengeras suara tidak lagi terdengar lantunan ayat-ayat suci. Kondisi ini seolah luput dari perhatian umat Islam. "Sepertinya Alquran telah menjadi barang antik atau pajangan yang diabaikan," kata dia.
Untuk itu, Nuzulul Quran, merupakan momentum yang tepat bagi umat Islam agar merenungkan kembali hakikat posisinya sebagai cahaya penerang umat. "Umat perlu introspeksi nilai-nilai keindahan dan estetika Alquran," kata dia.
Sebab, kata Anwar, tantangan umat ke depan semakin berat. Artinya, ada pihak yang terang-terangan mulai menyerang atau menjelek-jelekan Alquran. Jadi, sangat ironis, seandainya kita hendak membela Alquran tapi tidak mengetahui apalagi membacanya.
"Inilah pentingnya bagi umat Islam untuk mencintai, mendalami, menjadikan Alquran sebuah saham, teman dialog, dalam memecahkan segala macam," kata dia.
Bertambah penting lagi, kata dia, bulan puasa merupakan bulan Alquran. "Kenyataan ini perlu kita ingat," pungkas dia.