Rabu 22 Mar 2023 14:30 WIB

Amnesty: Penghancuran Rumah Warga Palestina oleh Israel Kejahatan Perang

Hingga saat ini ada lebih dari 700 ribu pemukim Israel yang tinggal di Tepi Barat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
 Pasukan Israel menghancurkan rumah warga Palestina Muhammad Kamel al-Jabari. Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengkritik masih berlanjutnya aksi penggusuran dan penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel.
Foto: AP Photo/Mahmoud Illean
Pasukan Israel menghancurkan rumah warga Palestina Muhammad Kamel al-Jabari. Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengkritik masih berlanjutnya aksi penggusuran dan penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengkritik masih berlanjutnya aksi penggusuran dan penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel. Menurut mereka, hal itu merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Kebijakan perencanaan diskriminatif Israel dan penghancuran sistematis rumah-rumah warga Palestina menunjukkan rasialisme di jantung sistem apartheid yang kejam. Ini kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM,” kata Amnesty International lewat akun Twitter-nya, Selasa (21/3/2023).

Baca Juga

Amnesty mengatakan, kantor Amnesty International di seluruh dunia akan mengirimkan petisi yang ditandatangani lebih dari 200 ribu orang kepada otoritas Israel. Petisi itu menyerukan Israel agar mereka menghentikan penghancuran rumah warga Palestina sebagai langkah pertama menuju penghapusan apartheid.

“Solidaritas ini menjadi pengingat bahwa paduan suara yang berbicara menentang apartheid Israel semakin keras. Kami tidak akan diam sampai apartheid dibongkar, dan otoritas Israel dimintai pertanggungjawaban,” kata Amnesty International.

Pernyataan Amnesty International muncul sehari setelah parlemen Israel (Knesset) mencabut Undang-Undang (UU) Pelepasan atau Disengagement Law tahun 2005. UU memerintahkan pembongkaran empat permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang diduduki saat Israel menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Empat permukiman itu yakni Sa-Nur, Ganim, Kadim, dan Homesh.

Perdana menteri Israel kala itu, Ariel Sharon, berpendapat, Israel tidak akan dapat mempertahankan permukiman-permukiman terkait di bawah kesepakatan masa depan dengan Palestina. Menurutnya, pembongkaran empat permukiman tersebut akan membantu memberikan kedekatan teritorial Palestina di Tepi Barat dan mempermudah warga Palestina menjalani kehidupan normal.

Sejak UU 2005 itu diterapkan, warga Israel dilarang memasuki kembali daerah-daerah permukiman tersebut tanpa seizin militer. Namun pada Senin (20/3/2023) malam lalu, Knesset memilih mencabut sebagian dari UU 2005 itu. Dengan demikian, warga Israel dapat kembali ke lokasi permukiman yang dievakuasi.

Dalam proses pemungutan suara, dari 120 anggota Knesset, 31 di antaranya mendukung pencabutan UU 2005 tersebut. Sementara 18 lainnya memilih menentang. Kemudian sisa anggota lainnya memilih abstain. “Negara Israel mala mini memulai proses pemulihannya dari bencana deportasi,” kata anggota Knesset dari Partai Likud Yuli Edelstein.

"Ini langkah pertama dan signifikan menuju penyembuhan dan penyelesaian nyata di wilayah tanah air Israel, yang menjadi miliknya,” kata Edelstein menambahkan.

Partai Likud adalah partai sayap kanan yang dipimpin Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel saat ini. Pemerintahan koalisi Netanyahu didominasi oleh para tokoh pendukung perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat. Hal itu telah menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan Palestina.

Israel menduduki Tepi Barat sejak berakhirnya Perang Arab-Israel 1967. Hingga saat ini terdapat lebih dari 700 ribu pemukim Israel yang tinggal di permukiman-permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Permukiman tersebut dianggap ilegal menurut hukum internasional.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement