Kamis 16 Mar 2023 17:25 WIB

Banyak Bank Bangkrut, Indef Sebut Ini Awal Resesi Global

Di tengah ketidakpastian, bank harus adaptasi sangat cepat.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang wanita yang menjadi bagian dari antrean memasuki kantor pusat Silicon Valley Bank berhenti sejenak untuk selfie di Santa Clara, California, pada Senin, 13 Maret 2023. Pemerintah federal turun tangan pada Minggu untuk mengamankan dana bagi para deposan untuk ditarik dari Silicon Valley Bank setelah bank-bank runtuh. Puluhan orang mengantri di luar bank untuk menarik dana.
Foto: AP Photo/ Benjamin Fanjoy
Seorang wanita yang menjadi bagian dari antrean memasuki kantor pusat Silicon Valley Bank berhenti sejenak untuk selfie di Santa Clara, California, pada Senin, 13 Maret 2023. Pemerintah federal turun tangan pada Minggu untuk mengamankan dana bagi para deposan untuk ditarik dari Silicon Valley Bank setelah bank-bank runtuh. Puluhan orang mengantri di luar bank untuk menarik dana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, pemicu bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) yakni kenaikan suku bunga acuan yang agresif. Seperti diketahui, demi memulihkan perekonomian sekaligus menangani inflasi di Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) terus menaikkan Fed Fund Rate (FFR).

"Pemicunya kenaikan suku bunga acuan. Kalau kita lihat lebih jauh, ini bisa saja baru cerita awal resesi global," ujar Eko dalam Diskusi Online Indef, Kamis (16/3/2023).

Baca Juga

Ia menambahkan, posisi FFR saat ini tertinggi sejak empat dekade terakhir. Pada 1 Februari lalu, The Fed pun menaikkan lagi suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5-4,75 persen.

"Sehingga kalau kemudian muncul tabrakan, akhirnya memang ada aspek atau sektor keuangan untuk adaptasi dengan sangat cepat," jelasnya. Apalagi, kata dia, harus beradaptasi dari suku bunga rendah menjadi tinggi sangat cepat.

Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, kata Eko, rata-rata tingkat inflasi di AS relatif rendah, hanya sekitar dua persenan. Hanya saja setelah pandemi Covid-19 dari 2020 hingga 2020, inflasi Negeri Paman Sam tersebut meningkat tajam sampai di titik sembilan persen.

Kemudian, lanjutnya, The Fed melihat inflasi berada di atas normal atau di atas harapan bank sentral AS itu. Akibatnya, daya beli masyarakat turun, terjadi persoalan ekonomi, bahkan krisis.

"Untuk cegah itu bank sentral lakukan normalisasi dengan naikkan suku bunga," tutur dia. Di sisi lain, sambungnya, sebagian besar deposan SVB adalah startup, sehingga ketika melihat inflasi tinggi lalu AS dan global hadapi situasi pelemahan ekonomi, strategi pencatatan saham perdana atau IPO dan ekspansi sulit dilakukan.

Kemudian yang dilakukan para startup itu guna mempertahankan diri yaitu mengandalkan simpanan di bank. "Problematiknya kemudian, SVB ini menyimpan sebagian besar aset yang dia punya dari DPK (Dana Pihak Ketiga) di surat utang pemerintah," jelas Eko.

Padahal, lanjut dia, menyimpan aset di surat utang pemerintah tidak selalu aman. Alasannya, pada saat suku bunga tinggi harga obligasi menjadi murah, karena masyarakat lebih suka menabung daripada membeli obligasi pemerintah.

"Jadi (obligasi) dijual pasti harganya jatuh. Lalu SVB kesulitan sediakan cash untuk yang mau menarik uangnya, terjadi mismatch," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement