Sabtu 11 Mar 2023 14:08 WIB

Komnas HAM: Kasus Gagal Ginjal pada Anak Tergolong Pelanggaran HAM

Data Komnas HAM mencatat ada 326 kasus gagal ginjal anak tersebar di 27 provinsi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh. Komnas HAM menyimpulkan kasus gagal ginjal pada anak yang sempat merebak di Indonesia sebagai pelanggaran HAM. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsaa
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh. Komnas HAM menyimpulkan kasus gagal ginjal pada anak yang sempat merebak di Indonesia sebagai pelanggaran HAM. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan kasus ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) tergolong pelanggaran HAM. Komnas HAM menyoroti kelalaian pengawasan obat dalam kasus itu. 

Komnas HAM memandang unsur pengabaian terhadap kewajiban industri dalam menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM. "Melanggar prinsip-prinsip bisnis dan HAM karena telah mencabut hak hidup seseorang dan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan bagi korban dan keluarga korban," kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah dalam paparannya, Sabtu (11/3/2023)

Baca Juga

Komnas HAM menilai penanganan kasus GGAPA merupakan tindakan yang tidak efektif. Hal inilah yang diyakini Komnas HAM sebagai bentuk pembiaran pemerintah terhadap pelanggaran HAM. 

"Pelanggaran HAM dilakukan karena negara mengabaikan kewajibannya untuk bertindak secara aktif dan efektif untuk melindungi dan/atau memenuhi HAM," ujar Anis. 

Komnas HAM merinci terdapat sejumlah pelanggaran HAM atas kasus GGAPA pada anak di Indonesia. Yaitu Hak untuk Hidup, Hak atas Kesehatan, Hak Anak, Hak Memperoleh Keadilan, Hak atas Kesejahteraan, Hak atas Jaminan Sosial, Hak atas Informasi, Hak Konsumen.

Selain itu, Komnas HAM memandang Pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus GGAPA di Indonesia. Terutama dalam memberikan informasi yang tepat dan cepat kepada publik dalam rangka meningkatkan kewaspadaan.

Berikutnya, Komnas HAM menemukan kebijakan dan tindakan surveilans kesehatan (penyelidikan epidemiologis) yang dilakukan oleh Pemerintah tidak efektif dalam menemukan faktor penyebab kasus GGAPA. 

"Sehingga tidak dapat meminimalisir hingga mencegah lonjakan kasus serta jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak," ucap Anis. 

Komnas HAM juga mendapati kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian (produksi dan peredaran obat) tidak dilakukan secara efektif oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan keracunan disertai kematian dan dampak lanjutan terhadap ratusan anak-anak.

Kondisi ini menurut Komnas HAM diperparah tata kelola kelembagaan dan koordinasi antarinstansi pemerintah dalam penanganan kasus GGAPA tidak efektif. 

"Kesengajaan mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai label dan peruntukannya sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian terhadap ratusan anak oleh industri farmasi merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana," ujar Anis.

Kesimpulan ini didapat Komnas HAM berdasarkan pemantauan situasi HAM, penerimaan pengaduan, pemantauan lapangan, ppermintaan keterangan (BPOM, Kementerian Kesehatan, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, perusahaan dalam bidang industri farmasi, ahli kesehatan).

Dari data Komnas HAM kasus GGAPA pada anak di Indonesia sepanjang tahun 2022 sampai pada 5 Februari 2023 tercatat 326 kasus yang tersebar di 27 Provinsi. Adapun GGAPA disebabkan keracunan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam produk obat sirop. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement