Sabtu 10 Dec 2022 00:46 WIB

Psikolog Jelaskan Alasan Keluarga Kalideres tak Makamkan Jenazah

Tim forensik menepis keluarga Kalideres meninggal karena paham apokaliptik.

Tim psikolog dari Asosiasi Psikolog Forensik mengungkapkan persoalan dana melatarbelakangi alasan keluarga Kalideres tidak memakamkan anggota keluarganya yang meninggal.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tim psikolog dari Asosiasi Psikolog Forensik mengungkapkan persoalan dana melatarbelakangi alasan keluarga Kalideres tidak memakamkan anggota keluarganya yang meninggal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim psikolog dari Asosiasi Psikolog Forensik mengungkapkan persoalan dana melatarbelakangi alasan keluarga Kalideres tidak memakamkan anggota keluarganya yang meninggal. Tim menyebutkan, ada beberapa temuan yang melatarbelakangi mengapa jenazah dalam peristiwa di Kalideres tidak dimakamkan oleh anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut.

"Ada situasi psikologi yang masing-masing berbeda," kata Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Reni Kusumowardhani di Jakarta, Jumat (9/12/2022).

Baca Juga

Reni mengungkapkan tim psikologi forensik mempelajari berbagai hal dalam keluarga tersebut mulai dari pemeriksaan latar belakang kematian hingga aspek perilaku kehidupan empat orang tersebut. Kemudian mempelajari apa yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan dan kecenderungan perilaku.

Tim juga mempelajari psikologi dari aspek usia, status pernikahan, pekerjaan, dan agama. Keempat orang yang meninggal dalam satu rumah tersebut, yakni Rudiyanto Gunawan (71), Renny Margareta (66), anak dari Rudiyanto dan Margareta yakni Dian Febbyana (42), dan Budiyanto Gunawan (68).

Menurut tim forensik korban yang meninggal pertama kali adalah Rudiyanto Gunawan. Dalam hal ini, Rudyanto tidak dimakamkan karena keterbatasan dana serta karakter dari Renny Margareta yang menyembunyikan ketidakmampuan finansial dirinya.

"Ibu Renny punya ciri kepribadian unggul, ingin dinilai baik, lebih dari yang lain, termasuk dominan tidak mau terlihat lemah. Ini mempengaruhi suami tidak dimakamkan," kata Reni.

Saat Renny Margareta meninggal dunia, timbul penyangkalan atau denial pada diri Dian yang menganggap Renny masih hidup. "Pascakematian tidak dimakamkan ada situasi denial, bangun keyakinan seolah-olah ibunya masih hidup, diperlakukan seperti orang masih hidup, dibersihkan, dirawat, posisi seperti tidur," ujarnya.

Tim psikolog menduga keberadaan jenazah Rudiyanto yang tidak dimakamkan juga membuat Dian dan Budiyanto sulit terbuka dengan pihak keluarga. "Karena kondisi keuangan menipis, keberadaan mayat Rudiyanto membuat Budiyanto dan Dian sulit membuka ke keluarga," kata Reni.

Menurut psikolog, Budiyanto mempunyai kepribadian unik, kurang lebih sering iri hati, keras kepala, tingkah laku tidak lazim, suka hal-hal klenik dan punya guru spiritual. Yang bersangkutan punya strategi mencari alternatif pengobatan nonmedis.

Ia juga berupaya memperbaiki ekonomi, tetapi gagal. Situasi berlanjut, yakni keuangan habis, secara psikologi tidak berdaya. "Keadaan tidak berdaya ini berpotensi memicu memperburuk fisik dan kesehatan. Budiyanto meninggal dalam situasi ketidakberdayaan, punya kepercayaan tidak lazim, tidak sesuai yang diharapkan," ujar Reni.

Menurut tim forensik, korban yang meninggal terakhir adalah Dian. Yang bersangkutan punya kepribadian khas kerap menekan emosi negatif yang muncul dan punya ketergantungan dengan ibunya. Menurut hasil investigasi tim psikolog, yang bersangkutan punya karakter tidak bisa ambil keputusan karena pola asuh, susah cari solusi di tengah ketidakberdayaan.

"Ketiga orang keluarga meninggal dunia. Situasi ini melampaui kemampuan merespons secara adaptif, menghadapi kehilangan intens. Tapi masih kelihatan dia melakukan perawatan ada beli makanan, bon-bon belanja makanan, rumah masih dibersihkan, cara tidur nyaman di samping ibunya. Dia meninggal secara wajar," ujar Reni.

Reni juga mengatakan cara kematian empat orang mengarah pada cara sama, yaitu kematian wajar, tidak mengarah pada kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. "Keempatnya cara kematian mengarah pada cara natural bukan cara kematian yang lain. Dapat ditepis adanya paham apokaliptik atau VSED (Voluntarily Stopping Eating and Drinking/mogok makan dan minum secara suka rela)," ujarnya.

Tim forensik gabungan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Bhayangkara menyatakan keempatnya meninggal karena sakit. Atas dasar hasil pemeriksaan forensik dan psikolog tersebut dan hasil penyelidikan oleh petugas kepolisian di lapangan, penyidik Polda Metro Jaya menyatakan tidak ada unsur pidana dalam kejadian tersebut.

Pihak kepolisian selanjutnya akan menghentikan proses penyelidikan dalam kasus tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement