Senin 21 Nov 2022 13:10 WIB

Tokoh Agama di Pusaran Air, Angin dan Matahari

Para pimpinan negara G20 sepakat untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan

Para pemimpin negara dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, (ilustrasi).
Foto: EPA-EFE/DITA ALANGKARA
Para pemimpin negara dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur dan Redaktur Mediaislam.id

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali (15-16/11/2022) menghasilkan Bali Leaders' Declaration atau Deklarasi Bali 2022, yang terdiri atas 52 paragraf  yang terangkum dalam lima poin permasalahan,yaitu: ketegangan geopolitik global, isu krisis pangan dan perubahan iklim. Kesehatan global,dantransformasi digital.

Baca Juga

Untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim, dan juga masalah lingkungan hidup, para pimpinan negara G20 sepakat untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan pada 2030 serta melanjutkan komitmen mengurangi degradasi tanah sampai 50 persen pada tahun 2040 secara sukarela. Selain itu, Indonesia mendapat dana untuk transisi energi sebesar 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 312, 828 triliun di kurs Rp 15.800 per dolar AS.

Transisi energi merupakan proses pengalihan sumber energi dari sumber berbasis bahan bakar fosil kepada sumber-sumber yang tidak menghasilkan emisi karbon, dan nilai dana trensisi energi untuk Indonesia sebesar Rp 312, 828 triliun bukanlah nilai yang kecil. Karenanya, Pemerintah Pusat harus membuktikan keseriusannya dalam transisi energi ini tanpa menimbulkan persoalan baru terhadap lingkungan seperti yang dikritisi oleh berbagai LSM lingkungan dalam dan luar negeri.

Dan jauh sebelum penyelenggaraan KTT G20, Indonesia sudah melakukan terobosan-terobosan tranisisi energi, telah bergerak dari sumber berbasis bahan bakar fosil ke sumber energi berbasis bahan air, angin dan matahari walau memang sampai saat ini hasilnya masih belum mencapai harapan. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)yang berada di berbagai daerah di Indonesia walau beberapa masih menimbulkan persoalan lingkungan yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi; juga Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau angin (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan dan PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Salatan; dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau matahari (PLTS) yang beradadi beberapa daerah di Indonesia.

Indonesia juga sudah memulai untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik dengan menyiapkan infrastrukturnya dari hulu ke hilir, dari produksi kendaraan sampai baterai untuk kendaraan listrik. Walau untuk baterai kalangan LSM lingkungan masih mengkritisi agar tidak terjadi bencana ekologis baru di daerah tambang nikel akibat eksploitasi bijih nikel besar-besaran karena nikel merupakan bahan baku utama sampai 70 persen dari baterai untuk kendaraan listrik.

Namun, untuk mencapai kesuksesan transisi energi ini, Pemerintah Pusat tidak dapat sendirian, harus mengajak semua komponen masayarakat, seperti tokoh agama. Bagaimanapun, sampai saat ini, tokoh agama tetap mempunyai peran penting dalam mendorong dan mengajak umat atau pengikutnya masing-masing untuk menyukseskan setiap program dan kegiatan Pemerintah Pusat. Seperti yang sudah terbukti pada kesuksesan Indonesia pada program Keluarga Berencana (KB)yang diakui besarnya peran tokoh agama dalam menyukseskannya. Dan dalam banyak hasil survei, seperti yang dirilis oleh Literasi Digital Indonesia pada tahun 2020, tokoh agama masih menjadi sumber informasi yang paling dipercaya, yaitu sebesar 61,7 persen.

Peran tokoh agama bukan hanya menyukseskan progam Pemerintah Pusat dalam transisi energi, tetapi juga dalam dalam mengatasi persoalan lingkungan, terutama pada persoalan bencana ekologis dan keadilan ekologis. Tokoh agama dapat menjadi jembatan bagi para pihak yang mengkritisi bahkan menentang program dan kegiatan Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam untuk kepentingan transisi energi dan kepentingan lainnya.

Karenanya, tokoh agama perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang energi baru dan terbarukan, utamanya yang bersumber dari air, angin dan matahari. Dan tokoh agama juga diberikan peran untuk mencontohkan kepada umat atau pengikutnya dalam penggunaan energi baru dan terbarukan tersebut.

Selain itu, sebagai jembatan, tokoh agama juga perlu mendatangi LSM-LSM lingkungan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai bencana ekologis dan keadilan ekologis yang sudah, sedang dan akan terjadi di Indonesia untuk disampaikan kepada Pemerintah Pusat seperti dalam eksploitasi bijih nikel untuk baterai kendaraan listrik ataupun pemerintah daerah yang daerahnya menjadi daerah terdampak dari pengelolaan sumber daya alam sehingga menimbulkan bencana ekologis agar mendapatkan solusinya.

Walhasil, sudah saatnya tokoh agama tidak hanya berada di pinggiran, hanya menjadi penonton, dalam program transisi energi baru dan terbarukan, utamanya di energi air, angin dan matahari. Tetapi harus berada dalam pusarannya: Ikut terlibat sebagai penyuluh, pendorong dan teladan umat atau pengikutnya dalammenggunakan energi air, angin dan matahariguna keberlangsungan hidup manusia dan kelestarian alam; karenaagama  hadir memang bukan untuk kemashlahatan manusia saja, tetapi juga untuk kemashlahatan lingkungannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement