Rabu 22 Apr 2020 04:33 WIB
Islam

Membedah Islamofobia Dalam Penulisan Sejarah Indonesia?

Sejarah Indonesia yang penuh Islamophobia

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada tahun 1980-an, cendikiawan Islam kelahiran Bogor yang kini berdiam di Malaysia, Syed Hussein Alatas (17 September 1928 – 23 Januari 2007), sempat menyatakan bahwa memang ada usaha yang tak terlihat bahwa peran perjuangan umat Islam dikecilkan dalam sejarah Indonesia. Salah satu contohnya adalah membesarkan soal Majapahit dan Sriiwijaya sebagai ‘mitos’ bangsa. Dan pelopor ini adalah Moh Yamin seorang salah satu ‘bapak bangsa’ asal Sumatra Barat.

Tapi lambat laun, usaha itu terlihat terus mendapat perlawanan. Umat Islam mempunyai sikap sendiri. Ini  misalnya sikap umat Islam yang tak menerima teori peninggalan Kolonial bahwa Islam Indonesia di bawa melalui pedagang asal Gujarat atau Cina. Teori ini dibantah oleh Buya Hamka pada sebuah seminar temtamg kedatangan Islam di Indonesia pada tahun 1970-an.

Soal posisi Islam dalan sejarah Indonesa yang terasa ‘periferial’ (pinggiran) misalnya terjejak juga pada penulisan sejarah Kartini yang kini dipolemikan. Kisah Kartini yang menjadi murid KH Soleh Darat hilang dari peredaran. Padahal kisah ini ada dalam surat menyurat Kartini dengan HJ Abendanon, teman koresprondensinya di Belanda.

Akibatnya, soal ini seperti disunting dan sengaja tidak dimasukkan ke dalam buku Kartini yang sudah menjadi mitos dan ditermjahkan oleh Armyn Pane: Habis Gelap Terbitah Perang’.

Apakah hal ini masuk akal? Jawabanya, ya memang begitu keadaannya. Pihak kolonial secara sengaja menyembunyian sikap Kartini yang waktu itu ‘tidak lagi’ percaya kepada sosok Snuck Hurgronje yang selama ini dianggap sebagai ‘guru’ agama Islamnya.

Beginilah kisah Kartini yang berbalik tidak suka kepada Snuck Hurgronje. Dan kisah ini tak ada dalam buku ‘Habis Gelap terbitlah’ terang:

"Ada satu kisah di mana Kartini merasa dipojokkan karena ia atau salah satu dari saudarinya dianggap ingin menikah dengan Oom Piet (Piet Sijthoff-pen) Padahal, kenyataannya mereka sama sekali tidak menaksir Oom Piet, Kartini mengatakan “..Kita berbeda dengan perempun lainnya!” Untuk mencari dukungan, maka ia mencoba bertanya pada Hurgronje,  ia menganggap Hurgronje orang yang tepat dan mumpuni untuk ditanyai tentang Islam “...Apakah dalam Islam ada ayat tentang umur dewasa seseorang, sebagaimana di kalangan Anda? Saya ingin sekali mengetahui ayat tentang hak dan kewajiban perempuan dalam Islam.

Alih-alih menguatkan pendirian Kartini untuk mendukung argumennya agar tidak buru-buru menikah, Hurgronje malah mengatakan “...gadis Islam tidak pernah dewasa. Jika dia ingin bebas (dewasa-pen), dia harus menikah dahulu. Setelah itu boleh cerai lagi” dan sebagaimana yang dituliskan dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tanggal 22 April 1902, terlihat bahwa Kartini kecewa terhadap orientalis itu. “...Masih bisakah kemudian mereka berkata-kata dengan darah dingin setelah apa yang telah mereka nyatakan?..”

Hurgronje dianggapnya bertentangan dengan cara pandang Kartini dalam memandang situasi perempuan di Jawa yang dianggap tertindas. Hal tersebut membuat Kartini pada akhirnya kecewa dan kehilangan rasa hormatnya terhadap Hurgronje. Dia kemudian menulis begini:

“...Kamu pasti sudah pernah mendengar tentang dia; pria yang demi studinya menghabiskan satu tahun menyamar sebagai orang Arab di Mekkah dan yang meninggalkan tempat itu hampir dengan biaya hidupnya ketika diketahui bahwa dia adalah orang Kristen. Seperti yang telah saya dengar, ia kemudian masuk Islam dan menikahi seorang putri Penghulu yang berpendidikan tinggi"..

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania ...

  • Keterangan foto: Geger Banten (Pemberontakan Petani Banten) yang dilakukan para haji dan umat Islam juga tak tak ada kisahnya dalam buku ajar 'sejarah resmi'.

                     

                              *******

Soal selera kolonial dalam ‘meminggirkan peran Islam’ dalam penulisan sejarah Indonesia pun  sebenaryya sudah terjejak sangat lama. Dalam disertasi monumental di Universitas Leiden dari DR Husnual Aqib Suminto pada tahun 1980-an tentang ‘Politik Islam di Hindia Belanda’. Dia menulis begini:

....Keinginan keras untuk tetap berkuasa di Indonesia mengharuskan pemerintah Hindia Belanda menemukan politik Islam yang tepat , karena sebagian besar penduduk kawasan ini beragama Islam. Dalam perang menaklukan bangsa  Indonesia selama sekian lama, Belanda menemukan perlawanan keras justru dari pihak raja-raja Islam terutama, sehingga tidak mengherankan bila kemudian Islam dipandangnya sebagai ancaman yang harus dikekang dan ditempatkan dalam pengawasan yang ketat…Kedatangan Snuck Hurgonje kemudian melahirkan antara toleransi dan kewasadaan….

Sikap meminggirkan Islam di masa kini terjejak ketika sejarawan asal Inggris Peter Carey menulis tentang sosok Diponegoro yang telah dikajinya selama lebih dari 30 tahun sejak awal tahun 1970-an. Melalu bukunya ‘Kuasa Ramalan’  di situ diketahui jejak Diponegoro yang terkesan disembunyikan dalam penulisan ‘sejarah resmi’. Hal itu adalah ketika Carey menulis bahwa yang memperkenalkan kembali sosok Diponegoro setelah lebih dari setengah abad setelah kematiannya adalah Sarekat Islam pada awal 1900-an.

Tentu saja, apa yang ditulis Carey mengejutkan sebab tak ada dalam buku sekolah yang diajarkan di bangku sekolah. Bahkan, pada awal tahun 1950-an kisah Diponegoro dibicarakan seperti layaknya dongeng sebelum tidur atau percakapan orang sembari membuang kantuk dalam perjalanan naik kereta api.

Maka apa yang dikatakan Syed Husen Alatas lalu dikatakan Aqig Suminto dan kemudian Peter Carey membenarkan sinyalemen memang selama ini terjadi Islamophobia — minimal pengecilan —mengenai peran umat Islam dalam sejarah Indonesia.

Sejarawan senior masa kini, Prof DR Ahmad Mansyur Suryanegara pun sudah berusaha membongkar soal ‘phobia’ ini dalam sejarah Indonesia. Dalam bukunya yang berjilid-jilid dengan tajuk ’Api Islam’ , dia menceritakan bahwa Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Ahmad Masyur tampak  ingin mencoba menjelaskan tentang pengaruh Islam dan ulama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Dan, melalui buku ‘Api Islam’ tersebut siapa pun akan tahu betapa begitu penting dan sentralnya peran ulama dan santri dalam penegakkan NKRI, sejak awal kedatangan kaum imperialis diawal abad 16, hingga memasuki era modern sekarang ini. Namun jasa dan peran ini sangat jarang ditampilkan ke publik. Melalui buku ini pula, Ahmad Mansyur Suryanegara membongkar upaya deislamisasi dan depolitisasi ulama penulisan sejarah Indonesia yang sudah berlangsung lama.

Maka jangan heran sikap Islamophobia masih terasa sampai kini. Dan inilah salah satu jejak --selain kemiskinan dan kebodohan -- peninggalan kolonial yang terasa sampai sekarang. Misalnya saja soal penegakkan NKRI yang kini terkesan bukan dimiliki oleh umat Islam. Padahal sebenarnya, adanya NKRI itu jasa tokoh Islam yang kala itu (tahun 1950) menjadi perdana menteri, yakni Moh Natsir.

Natsir yang pernah lawan debat Sukarno dalam dekade akhir 1930-an, inilah yang berhasil membujuk para raja atau kepala negara bagian yang kala itu masih eksis sesuai kontitusi negara Indonesia Serikat (RIS). Berkat kerja kerasanya melakukan lobby kepada para raja itu, mereka mudian bersedia  menyerahkan kekuasaannya untuk melebur dalam NKRI.

Nah, adanya jasa tersbeut dan berbagai jasa lainya, inilah yang terlupakan. Generasi Islam masa kini dan masa depan harus tak bosan menuliskannya akan ingatan kepada sejarah terhadap perjuangan umat Islam agar tetap lestari di negeri tercinta ini.

Ingat, bukanlah fatwa KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai tanah air adalah sebagia dari iman seorang Muslim masih berlaku dan mengingatnya sampai sekarang?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement